Media Network
Rabu, 18 JUNI 2025 • 11:28 WIB

Gelombang Baru Konten Digital: Menyusuri Jejak Inovasi Video Sintetis Berbasis Generative AI di Kalangan Kreator Konten

Author
Dr. Dendy Muris, M.Si - Gelombang Baru Konten Digital: Menyusuri Jejak Inovasi Video Sintetis Berbasis Generative AI di Kalangan Kreator Konten
Dr. Dendy Muris, M.Si Head of Centre for Artificial Intelligence and Communication Technology (LSPR CAICT)

Ilustrasi foto content creators sedang mereview makanan. (Dok. AI)

INDOZONE.ID - Belakangan ini, dunia kreator konten digital dikejutkan oleh peluncuran Veo 3, sebuah teknologi dari Google yang mampu menghasilkan video sintetis hiper-realistis hanya dari teks. Rasanya seperti menyaksikan masa depan tiba lebih cepat dari perkiraan. Tanpa aktor, tanpa kamera, cukup dengan deskripsi naratif, visual yang menyerupai rekaman nyata bisa tercipta.

Veo 3 hanyalah salah satu contoh dari gelombang baru Generative AI yang kini kian canggih dan mudah diakses. Teknologi seperti ini tidak lagi sekadar pelengkap, melainkan mulai menggantikan cara lama dalam proses produksi konten digital dan memainkan peran utama dalam membentuk wajah industri kreatif.

Sejumlah platform seperti Sora, Runway Gen-2, hingga Veo 3 menjadi pionir dalam teknologi text-to-video yang mulai diadopsi luas oleh para kreator. Dengan hanya bermodal imajinasi dan instruksi teks (prompt), siapa pun kini dapat menciptakan video seolah hasil produksi profesional tanpa perlu kru, aktor, atau peralatan fisik seperti kamera dan mikrofon. 

Proses kreatif pun bergeser: dari pengambilan gambar di lapangan ke pengolahan ide dalam antarmuka digital. Bagi kreator yang mengejar efisiensi, ini adalah terobosan besar karena lebih cepat, hemat biaya, dan tetap memikat audiens.

Baca juga: Fotografi dan Transformasi Budaya Massa

Penggunaan teknologi Generative AI untuk menghasilkan video sintetis mengalami pertumbuhan signifikan di Indonesia. Berdasarkan data dari Statista Market Insights, jumlah pengguna alat AI di Indonesia meningkat dari 0,15 juta pada tahun 2020 menjadi 1,04 juta pada tahun 2023, dan diproyeksikan mencapai 1,93 juta pada tahun 2025. 

Angka ini tidak hanya menggambarkan lonjakan penggunaan teknologi, tapi juga menunjukkan seberapa cepat tren ini menjalar di komunitas digital. Di balik data itu, kita bisa membaca perubahan perilaku: publik tak lagi hanya menjadi penonton, tapi juga pencipta dari realitas digital yang baru.

Untuk memahami bagaimana teknologi seperti ini menyebar dengan cepat, kita bisa merujuk pada teori Difusi Inovasi dari Everett Rogers. Teori ini menggambarkan proses adopsi teknologi melalui tahapan: dari pengguna awal, penyebar tren, hingga akhirnya menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Video sintetis berbasis Generative AI jelas memiliki daya tarik karena praktis, inovatif, dan sesuai dengan pola konsumsi visual zaman sekarang.

Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan penulis (Muris, 2024), ditemukan bahwa proses penyebaran video sintetis di kalangan kreator konten digital Indonesia sangat dipengaruhi oleh empat elemen dalam difusi inovasi: keunggulan teknologi itu sendiri, saluran komunikasi (media sosial), kerangka waktu adopsi yang cepat, serta karakteristik masyarakat digital Indonesia yang adaptif terhadap tren baru. 

Salah satu alasan kenapa teknologi ini mudah menyebar adalah karena media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memfasilitasi distribusi konten video sintetis dengan sangat efektif. Semakin banyak orang melihat konten ini, semakin besar kemungkinan mereka mencobanya. 

Apalagi dengan perilaku fear of missing out (FOMO) dan ‘latah digital’ yang kuat di kalangan pengguna internet Indonesia, teknologi seperti video sintetis menyebar bukan hanya karena fiturnya, tapi karena dorongan sosial. Temuan ini memperkuat argumen bahwa teknologi seperti video sintetis tidak hanya tumbuh karena fitur teknisnya, tetapi juga karena faktor budaya yang mendorong adopsi secara masif.

Kita juga perlu menyadari bahwa teknologi video sintetis sudah bergerak dari fase eksperimental menuju arus utama. Banyak kreator yang dulunya hanya mencoba-coba, kini mulai menjadikannya bagian dari rutinitas produksi konten. Ini menunjukkan bahwa video sintetis telah melewati tahap 'early adopters' dan mulai memasuki fase 'early majority' dalam kurva adopsi inovasi. 

Baca juga: Digital Public Relations dan Tantangan Komunikasi di Era AI dan Metaverse

Karakter masyarakat digital Indonesia ikut mempercepat penyebaran teknologi ini. Budaya mengikuti tren, cepat beradaptasi, dan kecenderungan untuk mengulang konten yang viral menjadikan video sintetis mudah diterima. Dalam sistem sosial seperti ini, para kreator bukan hanya pengguna teknologi, tapi juga agen penyebar budaya digital baru.

Teknologi seperti video sintetis menunjukkan bahwa kita sedang memasuki babak baru dalam cara manusia mempersepsi realitas. Apa yang terlihat di layar belum tentu benar-benar terjadi. Di tangan kreator, ini bisa menjadi alat eksplorasi yang luar biasa. Tapi di sisi lain, juga bisa menyesatkan. 

Inilah mengapa literasi digital soal kecerdasan buatan menjadi semakin krusial, agar kita tidak hanya sekadar menggunakan, tapi juga paham risiko, etika dan tanggung jawab. Kita memang bisa terkesima oleh kemampuan Generative AI seperti VEO 3, tapi mungkin yang lebih penting adalah bertanya: siapkah kita memilah mana kenyataan dan mana buatan? Karena di zaman AI ini, keduanya kian sulit dibedakan.

Profil Penulis 
Nama Lengkap: Dr. Dendy Muris, M.Si
Title/Jabatan:
Head of Centre for Artificial Intelligence and Communication Technology (LSPR CAICT)
Email Penulis:
[email protected]

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Amatan Langsung

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Gelombang Baru Konten Digital: Menyusuri Jejak Inovasi Video Sintetis Berbasis Generative AI di Kalangan Kreator Konten

Link berhasil disalin!