Bos Garuda Keluhkan Biaya Tes PCR yang Lebih Mahal Ketimbang Tiket Pesawat

- Rabu, 3 Juni 2020 | 11:47 WIB
Kanan: Bos Garuda, Irfan Setiaputra. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan). Kanan: Ilustrasi sejumlah petugas medis di ruang PCR. (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)
Kanan: Bos Garuda, Irfan Setiaputra. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan). Kanan: Ilustrasi sejumlah petugas medis di ruang PCR. (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

Irfan Setiaputra yang merupakan Direktur Utama Garuda Indonesia mengeluh, karena biaya tes Polymerase chain reaction (PCR) lebih mahal ketimbang tiket pesawat.

“PCR test yang 2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya, itu lebih mahal daripada biaya bepergian khususnya lokasi yang berdekatan, seperti Jakarta-Surabaya," ujar Irfan dalam dalam webinar yang bertajuk “Kolaborasi Merespon Dampak Pandemi COVID-19 dan Strategi Recovery pada Tatanan Kehidupan Normal Baru di Sektor Transportasi” di Jakarta, Selasa (3/6/2020).

"Jadi, apalagi kalau bepergian tujuh hari yang berarti harus PCR dua kali dan biaya harus Rp5 juta sementara perjalanan bolak balik hanya Rp1,5 juta,” sambungnya.

Apalagi, surat keterangan corona yang dibuktikan lewat tes PCR menjadi syarat wajib bagi calon penumpang untuk bisa melakukan penerbangan.

-
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra. (ANTARA/Ade Irma Junida)

Oleh sebab itulah kata Irfan, pihaknya harus mengkaji ulang lagi harga tiket pesawat agar masyarakat masih mau membeli dan tidak terbebani dengan mahalnya biaya tes PCR.

Selain itu katanya, pihaknya wajib menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak antara penumpang dalam susunan tempat duduk di pesawat di mana mengurangi tingkat keterisian yang otomatis menurunkan pendapatan.

-
Petugas kesehatan beraktivitas di ruang deteksi polymerase chain reaction (PCR). (ANTARA FOTO/Moch Asim)

“Kalau ‘physical distancing’ ini dipastikan dilakukan tentu kita harus ‘review’ harga dari penerbangan tersebut,” ujarnya.

Ia menambahkan, proses pra-penerbangan juga semakin rumit dengan adanya pemeriksaan dokumen dan kesehatan.

“Artinya, ke depan industri ini akan menghadapi penurunan drastis penumpang. Adalah kepentingan bersama, bersama regulator untuk memastikan ini butuh waktu. Kami mendapatkan konsesus, industri ini bisa recovery sebelum COVID-19 dalam masa dua sampai tiga tahun,” tambahnya.

Irfan menuturkan, masyarakat yang sering bepergian sekalipun masih menunggu kondisi pulih kembali.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Zega

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X