Sejarah G30S: 6 Jenderal yang Diculik Tidak Disiksa, Ini Kesaksian Dokter yang Mengotopsi

- Minggu, 27 September 2020 | 07:51 WIB
Kiri: Poster film Pengkhianatan G30S/PKI; kanan: Dokter Liauw Yan Siang (dokumen Alfred D Ticoalu)
Kiri: Poster film Pengkhianatan G30S/PKI; kanan: Dokter Liauw Yan Siang (dokumen Alfred D Ticoalu)

Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan singkatan G30S/PKI sudah berlalu 55 tahun yang lalu, namun hingga sekarang, memori akan peristiwa itu masih terus dimunculkan.

Tidak dipungkiri, bayangan paling dominan yang ada di benak masyarakat pada umumnya ketika mengingat G30S/PKI adalah betapa kejamnya orang-orang PKI pada masa itu.

Namun, benarkah demikan? 

Baca juga: Sejarah G30S: Amerika Serikat Dalang Kenapa PKI dan Komunisme Dicap Buruk di Indonesia

Banyak literatur, baik berupa catatan sejarah maupun kesaksian orang yang hidup pada masa itu, yang menyebut film produksi era Orde Baru itu merupakan penyesatan sejarah dan bentuk propaganda yang sengaja diciptakan oleh Soeharto untuk melegitimasi pembantaian terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang beraliran kiri, yang notabene adalah musuh politiknya pada masa itu.

Sejumlah dugaan penyesatan sejarah yang terdapat dalam film itu, antara lain adalah soal penyiksaan 6 jenderal yang diculik. 

Dokter Liauw Yan Siang, dokter yang mengotopsi keenam jenazah jenderal yang kata Soeharto disiksa, menyatakan bahwa sesuai hasil visum et repertum, keenam jasad yang ia periksa tidak mengalami penyiksaan.

Dokter Liauw adalah satu-satunya dokter yang memeriksa mayat jenderal korban penculikan pada malam 30 September 1965, kecuali jenazah ajudan Jenderal A.H Nasution, yakni Kapten Anumerta Pierre Tendean, yang diperiksa oleh Dokter Lim Joe Thay.

"Iya. Kecuali yang Tendean itu bukan saya yang kerjakan [tertawa]. (yang kerjakan) Dr Lim," kata Dokter Liauw Yan Siang, ketika diwawancarai oleh Alfred D Ticoalu di Amerika Serikat tahun 2000 silam.

-
Salinan hasil visum et repertum jenderal yang mati pada Gerakan 30 September 1965 (dokumen Alfred Ticoalu)

Dokter Liauw Yan Siang sendiri hanya memegang salinan hasil visum itu. Ia tidak memegang yang asli. Namun, ia yakin bahwa itu memang hasil visum yang dilakukannya.

"...Dr. Frans Pattiasina yang ditugaskan untuk menandatangani…, dan suruh ngetiknya semua dia yang ditugaskan. Tapi dia nggak mengerjakan pemeriksaan ini. Maka dia datang pada saya untuk bantuan itu…, mengoreksi apa-apa yang saya kerjakan itu, apa bener semuanya di sini," katanya, seperti dikutip dari laman Indoprogress.

Martin Aleida, salah satu eks tahanan politik (ekstapol) 1965 yang hingga kini masih hidup, dalam memoarnya yang berjudul 'Romantisme Tahun Kekerasan' (2020), menulis bahwa tidak benar para jenderal disiksa (mata dicongkel dan kemaluan diiris pakai silet) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua di wilayah Lubang Buaya di Jakarta Timur. 

"Mata mereka dicongkel. Kemaluan mereka diiris menggunakan silet. Kebohongan yang memanas-manasi, untuk membakar kebencian itu disebarkan melalui media yang di bawah kontrol angkatan darat... " demikian tulis Martin pada halaman 10. 

Sosok yang paling marah atas fitnah itu adalah Bung Karno, Presiden pertama RI. Apalagi, Soekarno merujuk hasil visum et repertum enam jenderal yang tewas itu, yang keluar pada 6 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata yang dicongkel.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X