RUU Cipta Kerja Disahkan, Cuti Nikah, Hamil, Keguguran, Hingga Izin Ibadah Bakal Dihapus

- Selasa, 6 Oktober 2020 | 14:50 WIB
Demo menolak RUU Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA/MUHAMMAD ADIMAJA)
Demo menolak RUU Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA/MUHAMMAD ADIMAJA)

Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang baru disahkan oleh pemerintah kemarin, Senin (5/10/2020), langsung menuai penolakan ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia.

Bukan tanpa sebab. RUU Cipta Kerja memuat sejumlah aturan yang dinilai sangat merugikan, bahkan bakal mengeksploitasi, kaum pekerja.

Poin-poin yang paling disoroti terdapat dalam Pasal 93 Ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan dihapus (huruf a).

Selain itu, pasal ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga cuti/izin kalau ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b).

Tak sampai di situ, cuti-cuti lainnya seperti menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agama (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h), juga dihapus.

Selain Pasal 93 Ayat 2, juga terdapat sejumlah pasal lainnya yang dianggap bermasalah. Pasal-pasal yang bermasalah itu menyangkut perihal UU Ketenagakerjaan, Lingkungan Hidup, UU Pers, dan Pendidikan.

Dalam Pasal 88C, misalnya, aturan mengenai upah minimum kota/kabupaten (UMK), yang selama ini merupakan dasar upah minimum pekerja yang harus dibayarkan pengusaha, juga dihapus.

Penghapusan aturan mengenai UMK ini memicu kekhawatiran para pekerja, yang mana pengusaha akan semena-mena menetapkan upah di setiap daerah, tanpa memedulikan komponen biaya hidup di daerah yang bersangkutan.

Kemudian dalam Pasal 77A, batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak dan aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis bagi pekerja kontrak sementara menjadi status pegawai tetap, akan dihapuskan.

Selain itu, dalam pasal ini juga disebutkan bahwa pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.

Selain itu, di dalam Pasal 88D, tingkat inflasi juga tidak menjadi pertimbangan di dalam penetapan UMK.

Dan, Pasal 91 dalam UU Ketenagakerjaan, yang memuat kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, juga dihapus.

RUU Cipta Kerja selengkapnya dapat dibaca melalui tautan ini. (PDF ).

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X