Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mihkael Bataona mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini sedang menciptakan rekonsiliasi politik dengan cara merangkul oposisi.
"Apa yang dilakukan Jokowi saat ini adalah bagian dari strategi untuk menciptakan rekonsiliasi, karena Indonesia sudah terlalu lama terbelah sejak 2016 dalam Pilkada DKI," kata Mikhael Bataona, di Kupang, Selasa (22/10).
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan fenomena politik setelah masuknya Prabowo Subianto dalam Kabinet Kerja Jokowi jilid II, dan bagaimana sebuah pemerintahan tanpa adanya kritikan dari partai oposisi.
Menurutnya, kehadiran Prabowo di dalam kabinet Jokowi menjadi sebuah fenomena politik yang sangat menarik dicermati. Dari sini, ia menilai pihak yang kalah dan menang pun bisa menjadi oposisi dalam momentum politik tertentu.
Untuk itu, strategi Jokowi yang sedang merangkul seteru menjadi kawan, tidak akan pernah mengurangi kekritisan masyarakat. Justru menurutnya, hal yang paling menakutkan sebagai oposisi adalah warga media sosial.
"Karena kita tahu bahwa dalam politik, yang hari ini oposisi juga bisa menjadi sangat jinak karena kepentingan mereka diakomodir," ujar Mikhael.
Demikian juga yang sekarang menjadi kawannya Jokowi, bisa saja nanti menjadi lawan di tengah jalan karena kepentingan mereka sudah tidak sejalan.
"Bagi saya, yang menjadi masalah saat ini bukan hilangnya partai oposisi untuk melakukan koreksi terhadap pemerintahan, tetapi kekecewaan berjemaah dari para cebong dan kampret," imbuhnya.
Kekuatan Oposisi di Parlemen Masih Belum Cukup
Sementara itu, dosen ilmu politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan kekuatan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di parlemen tidak akan cukup dalam kerangka 'checks and balances', untuk mengontrol pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke depan sebagai oposisi.
"Dalam konteks checks and balances memang keberadaan PKS di DPR sebagai oposisi dapat membantu masyarakat mengawasi kebijakan eksekutif, tetapi jumlah mereka di DPR dapat dikatakan kecil bila dibandingkan dengan partai-partai koalisi pemerintah," kata Yusa di Jakarta, Selasa (22/10).
Yusa mengatakan keputusan Gerindra menerima ajakan Presiden Jokowi untuk masuk dalam kabinet semakin menambah panjang deretan gerbong partai pendukung pemerintah.
Masuknya Gerindra ke dalam koalisi di satu sisi akan menghilangkan atau melemahkan polarisasi dua kekuatan politik, yang dalam waktu lima tahun sebelumnya begitu menonjol dan meramaikan jagat dunia maya.
Namun di sisi lain, masuknya Gerindra ke dalam kabinet pemerintahan Jokowi juga dapat semakin melemahkan kontrol terhadap eksekutif. Menurut pengamatannya, dari empat partai pendukung Prabowo dan Sandiaga Uno pada Pilpres 2019, hanya PKS yang menyatakan akan tetap menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif.
Dengan kecilnya kekuatan PKS di parlemen, kata dia, praktis pemerintah tidak akan menemui banyak hambatan dalam menggolkan kebijakan-kebijakannya, bila hanya berhadapan dengan PKS, terlebih bila kebijakan itu tidak berorientasi pada kepentingan publik.