MK Tolak Gugatan, Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka

- Kamis, 15 Juni 2023 | 14:20 WIB
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sehingga pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan judicial review UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sehingga pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dengan putusan ini, Pemilu di Indonesia akan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).

Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, hakim menjawab dalil-dalil yang diajukan para pemohon. Menjawab dalil pemohon yang menyebut sistem proporsional terbuka mendistorsi peran partai politik, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut pemohon bermaksud menegaskan partai politik seperti kehilangan peran sentral dalam  penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009-2019.

Menurut Mahkamah, kata Saldi Isra, dalil para Pemohon ini terlalu berlebihan. Ini lantaran dalam ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar.

Baca Juga: Yusril Sebut Sistem Proporsional Terbuka Lemahkan Parpol dan Turunkan Kualitas Pemilu

"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon," ujar Saldi Isra.

Terkait dengan kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai, Saldi Isra menjelaskan bahwa partai politik memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.

Di sisi lain, mengenai peluang terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi Isra mengatakan bahwa pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.

“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut "nomor urut calon jadi" agar peluang atas keterpilihan-nya semakin besar," kata Saldi Isra.

Baca Juga: Surya Paloh Klaim Pemerintah Dukung Pemilu Proporsional Terbuka

Oleh karena itu, menurut Saldi Isra, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilu tertentu.

“Karena, dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.

"Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," ujar Saldi Isra.

Artikel Menarik Lainnya:

Halaman:

Editor: Gema Trisna Yudha

Tags

Rekomendasi

Terkini

X