Dr. Ahmad Atang, Msi selaku Pengamat Politik dari Universitas Muhammadyah Kupang, mengatakan ada lima penyebab dari "perceraian" atau pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah pada setiap momentum pilkada.
Faktor pertama menurut Ahmad ialah adanya kawin paksa yang dilakukan oleh partai koalisi. Kawin paksa dari koalisi ini membuat dalam perjalanan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidak memiliki visi yang sama dalam membangun daerah.
Dilansir dari ANTARA, Ahmad mengungkapkan bahwa hal itu berkaitan dengan fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah, dalam setiap hajatan pilkada.
Faktor kedua menurut Ahmad yang menjadi penyebab "perceraian" dalam pilkada ialah, adanya perbedaan kepentingan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah selama mengemban jabatan tertinggi di daerah.
Sedangkan faktor ketiga yaitu, pendistribusian kekuasaan yang tidak merata antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini menyebabkan posisi wakil daerah yang merasa sebagai 'ban seref'.
"Jadi kekusaan secara penuh selama menjabat hanya berada pada kepala daerah. Wakil hanya 'ban seref' yang hanya dibutuhkan jika diperlukan," ujarnya.
Faktor selanjutnya ialah orientasi kekuasaan. Menurut Ahmad ini terjadi saat wakil kepala daerah memiliki keterbatasan kekuasaan, maka cara untuk meraih kekuasaan adalah dengan menduduki jabatan sebagai bupati. Inilah yang menjadi orientasi untuk pecah kongsi.
Faktor kelima yang menjadi penyebab "perceraian" ialah tidak adanya kerja sama antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini bisa terjadi saat keduanya menjabat sehingga terjadi konflik terbuka dan tertutup.
Ahmad juga menambahkan bahwa fenomena pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam setiap momentum pilkada, bukan merupakan hal baru dalam dinamika politik lokal, dan sah-sah saja.