Apakah kamu pernah mendengar istilah drama radio atau sandiwara radio? Jika kamu merasa asing dengan istilah tersebut, itu artinya kamu bukan termasuk generasi era 80-an atau 90-an. Sebab, drama radio baru dipopulerkan di Indonesia sejak tahun 1970-an dan mencapai puncak popularitasnya pada tahun 1980-an.
Saat ini kita terbiasa menikmati hiburan melalui berbagai macam media secara mudah, terutama secara audio dan visual. Namun, sebelum perangkat elektronik seperti televisi dan smartphone dimiliki oleh hampir setiap orang, radio menjadi salah satu hiburan andalan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para penikmatnya.
Drama radio menyuguhkan hiburan berupa kisah atau sandiwara yang disuarakan oleh para aktor dan aktris pengisi suara yang sudah dikenal oleh masyarakat. Pada umumnya, mereka berasal dari berbagai macam sanggar atau studio terkenal, seperti Sanggar Prathivi.
Para pengisi suara pada drama radio tak hanya wajib memilki suara yang merdu dan enak didengar. Namun, mereka juga perlu suara yang khas sehingga dapat melekat kuat dengan karakter-karakter yang diperankan. Sebab, para penikmat drama radio hanya bisa mengenali suara dari para pemain saja.
Meski terdengar mudah, proses produksi drama radio juga tak kalah serius dengan produksi film, lho. Drama radio juga memerlukan sutradara, produser, pemain atau pengisi suara, dan juga penulis naskah. Sehingga, hasil produksi drama radio tetap terasa berkualitas.
Bagi generasi muda saat ini, mungkin drama radio terdengar aneh dan membosankan, sebab hanya mengandalkan suara dari para aktor atau aktris saja. Padahal, saat mendengarkan drama radio, kamu akan ikut terbawa suasana dari setiap adegan yang dikisahkan. Apalagi dengan tambahan efek suara seperti gesekan pedang atau langkah kaki kuda yang membuatnya semakin terasa hidup.
Jika kamu penasaran atau ingin ikut bernostalgia dengan drama radio, kamu bisa coba dengarkan kembali drama radio yang terkenal pada masanya seperti Saur Sepuh dan Tutut Tinular.
