Perbedaan Bulan Puasa Zaman Dulu dan Sekarang, dari Takjil hingga Cara Beribadah

- Senin, 17 April 2023 | 14:00 WIB
Ilustrasi berbuka puasa. (FREEPIK)
Ilustrasi berbuka puasa. (FREEPIK)

Pada era 70-an, orang menikmati buka puasa dengan es serut campur sirup warna merah sudah terasa nikmat. Bagi anak muda zaman sekarang, mungkin cerita es serut itu terasa aneh.

Es sirup tanpa isian aneka buah atau cincau dan lainnya, adalah pengalaman nikmat berbuka bagi lidah orang kebanyakan yang lahir pada akhir tahun 1960 atau awal 1970.

Baca Juga: Kisah Pria Masuk Islam karena Suara Azan, Yakin Mualaf Padahal Belum Pernah Bertemu Muslim

Perbedaan Bulan Puasa Zaman Dulu dengan Sekarang

-
Ilustrasi buka puasa. (FREEPIK)

Penjualan aneka takjil zaman dulu tidak sesemarak saat ini. Kondisi ekonomi secara umum kala itu tentu berbeda dengan saat ini. Dulu, orang, khususnya masyarakat desa, sudah terbiasa makan seadanya, termasuk saat Bulan Ramadan.

Karena itu sajian berbuka dengan kolak pisang atau dawet hanya ada pada malam-malam ganjil sepertiga akhir bulan puasa. Dalam tradisi Jawa dikenal sebagai "malam likuran".

Orang Madura menyebut "malam lekoran". Di situlah nikmatnya takjil khas itu karena tidak setiap hari orang bisa menikmati menu spesial.

Perbedaan Bulan Puasa Zaman Dulu dengan Sekarang: Ibadah

Perbedaan masa kelahiran memang membawa implikasi pada corak beragama, dilihat dari fenomena sosialnya.

Bagi generasi yang lahir pada era 60-an dan 70-an, suasana saat Ramadhan banyak juga yang menghadirkan makna hiburan, selain tentu aspek ibadah, sementara generasi kini, boleh jadi puasa hanyalah persoalan ritme dan perubahan pola makan.

Zaman dulu, semarak orang tadarus yang diperdengarkan lewat pelantang suara dari masjid atau surau hingga pukul 3 dini hari menjadi hiburan malam di tengah suasana pedesaan yang sepi.

Masa muda generasi zaman dulu banyak dihabiskan di tempat ibadah, seperti kebiasaan tadarus atau membaca Al Quran bersama di masjid, langgar atau mushola.

-
Ilustrasi anak sedang membaca Al-Qur'an. (FREPIK)

Di luar Ramadan, generasi dulu biasa belajar mengaji setelah magrib hingga isya di masjid.

Mereka biasanya menginap di masjid, langgar, atau mushola karena besoknya, setelah shalat Subuh dilanjutkan kembali belajar ngaji hingga Matahari terbit. Saat Ramadan, kebiasaan itu berubah dengan tadarus setelah shalat Isya dan Tarawih.

Anak-anak zaman dulu pulang tengah malam dari masjid atau langgar menyusuri jalanan gelap karena penerangan listrik belum ada, menjadi pengalaman indah untuk dikenang.

Perjalanan pulang di malam buta itu terkadang diwarnai dengan saling berlarian ketika di antara mereka ada yang iseng menakut-nakuti.

Halaman:

Editor: Gema Trisna Yudha

Tags

Terkini

Ada dari Sumatra, Ini 3 Smart City di Indonesia

Minggu, 28 April 2024 | 11:35 WIB
X