Perlu Enggak Sih, Kasih Batasan untuk ‘Self-Healing’?

- Senin, 10 Oktober 2022 | 14:57 WIB
Ilustrasi seseorang yang tengah meditasi dalam rangka self-healing. (Unsplash)
Ilustrasi seseorang yang tengah meditasi dalam rangka self-healing. (Unsplash)

Istilah self-healing alias penyembuhan diri, semakian ramai di media sosial. Hal itu sebagai salah satu upaya untuk memulihkan dan memanjakan diri dari rutinitas yang sibuk, serta melepas kepenatan.

Psikolog klinis lulusan Universitas Gadjah Mada, Zahrah Nabila Putri, mengatakan, mengapresiasi diri sendiri dengan self-healing sesuai dengan hal yang disukai, adalah hal yang wajar. Namun, harus diimbangi dengan refleksi diri, apakah self-healing tersebut bermanfaat bagi diri sendiri atau tidak.

"Mungkin kita sudah terjebak dengan istilah ini, namun, kita perlu tahu basic needs kita dengan coba tanya ke diri sendiri. Apakah self-healing itu bentuk kita untuk melarikan diri dan mengalihkan perhatian kita dari masalah, atau benar-benar bisa menjadi support system untuk atasi burnt-out kita," ucap Zahrah dikutip Indozone dari Antara, Senin (10/10/2022).

Baca Juga: Sejarah Hari Kesehatan Mental Sedunia, Pertama Kali Diperingati 10 Oktober 1992

"Ketika kita paham kalau self-healing bisa untuk dijadikan dukungan dari diri untuk menghadapi burnt-out, harapannya tentu kegiatan itu bisa menjadi support. Bicara soal batasan, itu adalah pertanyaan untuk diri sendiri, apakah kita menerima atau menolak (gagasan itu) untuk menghadapi stres kita," sambungnya.

Zahrah melanjutkan, self-healing biasanya beriringan dengan adanya burnt-out, yakni rasa lelah dan kewalahan dengan banyaknya tuntutan pekerjaan atau lainnya. Menurutnya, burnt-out yang hadir seiring dengan tren hustle culture di kalangan anak muda ini, terjadi karena paparan informasi yang begitu banyak dan cepat, ditambah dengan sifat alami manusia yang kompetitif.

Namun, kata Zahrah, setiap orang punya fondasi yang berbeda-beda. Ada yang sudah cukup kuat, dan ada pula yang masih berusaha membangun pijakannya. Dengan paparan informasi yang cepat, tentu akan banyak ‘serangan’ yang menggoda di dalam proses tersebut.

"Di sini, diperlukan jeda informasi. Bagi mereka yang merasa fondasinya belum cukup kuat dan dipaksa kerja keras, itu bisa berpengaruh ke kondisi mentalnya. Dukungan tiap orang pun berbeda-beda, dan itu menjadi perjalanan mereka masing-masing," kata Zahrah.

Bagi setiap individu, penting untuk mau mengakui ketika kamu sudah enggak kuat dan enggak mampu menangani berbagai hal tersebut. Adapun beberapa tanda yang bisa disadari, di antaranya adalah kehilangan rasa sukacita saat bekerja.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus Bunuh Diri Mahasiswa UGM, Ini Cara Orangtua Jaga Kesehatan Mental Anak

Selain itu, merasa pekerjaan adalah beban yang luar biasa, hingga merasa bekerja seperti layaknya sebuah ‘robot’. Jika kamu merasa mengalami hal itu, cobalah untuk rehat sejenak dan melakukan hal kamu suka.

"Kita perlu mengakui kalau kita merasa burnt-out. Yang perlu dilakukan adalah melihat tiga sisi kita yaitu dari sisi emosional, fisik, dan pikiran. Manakah burnt-out yang paling menyerang dari ketiga hal itu. Dari situ, kita bisa coba release dengan berbagai hal yang sesuai seperti olahraga, meditasi, journalling, dan lainnya," tutup Zahrah.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Terkini

X