Enggak perlu pergi jauh-jauh ke Myanmar untuk melihat Pagoda Patirupaka Shwedagon, karena di Indonesia pun ternyata juga ada. Diantaranya di Taman Alam Lumbini Berastagi, Sumatera Utara, dan di Vihara Dhammadipa Arama Kota Batu, Jawa Timur.
Meskipun hanya replika, namun arsitektur bangunan pagoda yang ada di Indonesia cukup mirip dengan bangunan Pagoda Patirupaka Shwedagon asli, yang terletak di bagian barat Danau Kandawgyi, di bukit Singuttara Yangon, Myanmar.
Termasuk replika Pagoda Patirupaka Shwedagon di Vihara Dhammadipa Arama, Kota Batu. Bentuk dan warna dari pagoda yang sejatinya merupakan tempat meditasi Vipassana ini juga mirip aslinya.
Meskipun ukuran pagoda ini hanya sepersepuluh dari pagoda sesungguhnya di Myanmar.
Walaupun replika, pagoda di Vihara ini tetap memiliki unsur lokal. Hal itu terlihat dari adanya Candi Jawi pada pintu gerbangnya, patung harimau sebagai simbol penjaga di bagian depan dan genta yang harus dibunyikan sebelum para pengunjung masuk ke dalam area bangunan.
Vihara ini memang telah membuka diri untuk masyarakat luas, termasuk umat agama lain, untuk berkunjung ke vihara guna berwisata religi. Termasuk juga boleh masuk ke dalam bangunan pagoda, asalkan tetap santun dan mematuhi aturan yang ada.
Masih dalam satu area dengan bangunan pagoda, terdapat pula sumber air suci dan museum yang isinya menunjukkan proses penyebaran agama Buddha di seluruh dunia. Selain itu ada pula lukisan-lukisan yang menceritakan tentang kisah perjalanan spiritual sang Buddha.
Bangunan pagoda di Kota Batu ini diresmikan pada 7 Desember 2003 oleh Menteri Agama RI saat itu, Dr H Said Agil Husin Al Munawar. Pagoda ini juga pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pagoda pertama di Indonesia.
Tidak banyak yang tahu jika pagoda di Vihara Dhammadipa Arama ini ternyata menyimpan banyak harta karun. Pagoda ini menyimpan beragam batu mulia, intan, dan permata. Letaknya dirahasiakan. Konon, tersimpan di dalam ruangan beton yang tertutup.
Di dalam stupa induk pagoda juga tersimpan relik atau benda pusaka Sang Buddha dan Arahat. Semua ‘harta karun’ itu bukan peninggalan zaman kerajaan, melainkan sumbangan dari para donatur, termasuk dari Myanmar, yang datang saat peresmian pagoda ini pada 2003.
Konon, jika sewaktu-waktu bangunan pagoda ini roboh karena termakan usia atau karena terjadi bencana alam, ‘harta karun’ tersebut bisa dijual. Hasil penjualannya bisa digunakan untuk membangun kembali bangunan pagoda.
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join IDZ Creators dengan klik di sini.