Masih Ada! Perempuan Milenial Takut Punya Smartphone

- Rabu, 6 November 2019 | 13:30 WIB
Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari. (Amartha)
Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari. (Amartha)

Hasil riset yang dilakukan Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada dan PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha, mayoritas perempuan di pedesaan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi.

Hasil riset menunjukan, sebanyak 62,5 persen mitra Amartha, ternyata tidak memiliki telepon genggam yang memungkinkan mereka terhubung dengan internet. 

Kondisi tersebut, karena perempuan di desa, menggangap gawai  tidak memberikan manfaat dan kegunaan serta kesibukannya sebagai perempuan desa dengan banyak pekerjaan rumah.

Riset kolaboratif antara Amartha dan UGM ini, dilakukan pada delapan puluh delapan responden mitra Amartha di delapan kota di Pulau Jawa, diantaranya Bandung, Bogor, Subang, Sukabumi, Banyumas, Klaten, Kediri, dan Mojokerto.

Sekretaris Eksekutif CfDS UGM Dewa Ayu Diah Angendari menegaskan, keenganan perempuan memiliki gawai canggih, bukan karena daya beli. Karena rata-rata, dari hasil riset, mereka umumnya bisa membeli smartphone dengan harga kisaran Rp2,5 jutaan ke bawah.

Dari riset, lanjut ia, didapatkan lebih karena mereka takut salah dalam menggunakan dan membuat dampak bagi mereka. Kondisi ini, berkorelasi dengan tingkat pendidikan perempuan di kampung yang rata-rata semakin rendah tingkat pendidikan, semakin rendah kepemilikan telepon cerdas. 

"Termasuk juga yang usia milenial, rentan 28-35. Dan semakin tinggi usia, maka semakin tinggi juga yang merasa tidak perlu gawai canggih," ujar Ayu Diah yang juga dosen Komunikasi UGM, Rabu (6/11).

Ia mengatakan, dengan kondisi tersebut, perlu langkah antar pemangku kepentingan untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat. Padahal, saat ini, akses pada informasi dan teknologi, bisa meningkatkan taraf hidup perempuan di berbagai pelosok.

Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto mengatakan, hasil riset tersebut merupakan pekerjaan rumah besar bagi pihaknya serta pemerintah dan lembaga lain untuk meningkatkan literasi perempuan di desa.

"Ini PR besar digital. Padahal, digitalisasi memudahkan perempuan di pelosok mendapatkan akses modal untuk mengembangkan usaha sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga," ujarnya. 

Ia mencontohkan, saat ini para perempuan di kawasan perdesaan, memilih fintek peer-to-peer (p2p) lending dibandingkan jasa keuangan formal lainnya, untuk mendapatkan modal usaha.

"Sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan tersebut adalah jarak yang jauh dengan bank, jumlah pinjaman yang dapat diajukan terlalu besar, syarat administrasi yang lebih kompleks, hingga sudah terbiasa dengan transaksi tunai," ujarnya.

Artikel Menarik Lainnya:

Mendagri Minta Anies Baswedan Tertibkan Pengelolaan Parkir

Soal Caketum Golkar, Bamsoet Tak Bisa Tolak Desakan Daerah

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X