Legalisasi Ganja Medis, Anggota DPR: Jangan Konservatif dalam Rumuskan Kebijakan Narkotika

- Senin, 4 Juli 2022 | 09:32 WIB
Ilustrasi ganja medis. (Freepik)
Ilustrasi ganja medis. (Freepik)

Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan bahwa untuk merumuskan kebijakan narkotika, dalam hal ini legalisasi ganja medis, tidak boleh konservatif.

Pernyataannya tersebut merespons Santi Warastuti yang berjuang untuk melegalkan ganja untuk kebutuhan medis lantaran anaknya mengidap cerebral palsy atau kelumpuhan otak.

“Peristiwa yang dialami ibu Santi dan ibu Dwi Pertiwi yang memperjuangkan pengobatan anaknya serta Fidelis, yang membantu pengobatan istrinya hingga harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah kemanusiaan yang harus dicarikan jalan keluarnya,” kata Taufik kepada wartawan, Senin (4/7/2022).

Taufik mengatakan, semua pihak tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika. Dia pun mengacu pada penelitian turunan yang disebutnya tanaman ganja bisa digunakan sebagai pengobatan.

Baca juga: Shin Tae-yong Belajar Terbangkan Drone, Ekpresi Wajahnya: Wooo....!

“Kita tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika,” urai dia.

“Jika terdapat penelitian yang menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan, maka kita harus memiliki pikiran terbuka untuk merumuskan perubahan kebijakan,” tambahnya.

Dia berujar, aturan di Indonesia sejatinya tidak mengizinkan ganja untuk kepentingan medis. Lalu, Peraturan Menteri Kesahatan (Permenkes) yang menjadi lampiran UU, sejak dahulu hingga yang terakhir tahun 2021, ganja dan seluruh produk turunannya ditempatkan sebagai narkotika golongan I  hanya dapat digunakan untuk riset dan tidak dapat untuk terapi kesehatan.

“Akibatnya, pasien seperti anak dari ibu santi yang menderita cerebal palsy tidak dapat menggunakan ganja untuk pengobatan, bahkan dalam kasus Fidelis Arie, yang memberikan ganja untuk pengobatan istrinya harus berakhir pada proses hukum,” jelas Taufik.

Politisi NasDem ini menyatakan, narkoita yang masuk golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi. Serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Oleh karena itu, kata dia, semua pihak diharapkan dapat mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes untuk mengkaji hal ini. Penelitian tidak harus dilakukan dari awal karena sebelumnya telah terdapat penelitian dari berbagai negara termasuk dari komite expert di bawah PBB yang dapat dijadikan rujukan penelitian lanjutan.

Saat ini dia berkata DPR tengah dilakukan pembahasan revisi UU Narkotika, tentu informasi baik berupa hasil penelitian ahli maupun keterangan masyarakat seperti dari ibu Santi dan ibu Dwi akan menjadi bahan masukan revisi UU Narkotika. 

“Revisi UU Narkotika ini diharapkan juga dapat mengubah paradigma kebijakan narkotika selama ini yang selalu menempatkan persoalan narkotika sebagai persoalan hukum dan penegakan hukum semata, padahal justru yang harus dikedepankan adalah penanganan kebijakan kesehatannya,” tuturnya. 

“Hukum digunakan untuk pihak-pihak yang memanfaatkan narkotika untuk kejahatan, sementara pendekatan kesehatan digunkan untuk kemanfaatan dan kemanusiaan serta menyelamatkan anak bangsa yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika,” tandasnya.

Halaman:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Rekomendasi

Terkini

Motor Kepeleset, Dua Jambret Ditangkap di Monas

Senin, 18 Maret 2024 | 14:10 WIB
X