Veronica Koman Ucapkan Terima Kasih Kepada NKRI Telah Menyekolahkannya

- Rabu, 12 Agustus 2020 | 15:21 WIB
Veronica Koman, aktivis HAM. (Facebook/Veronica Koman)
Veronica Koman, aktivis HAM. (Facebook/Veronica Koman)

Usai diminta untuk mengembalikan dana beasiswa yang diterimanya dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan senilai Rp773.876.918, Veronica Koman menyindir sikap pemerintah Indonesia terhadap dirinya, yang mencoba menyuarakan pelanggaran HAM di Papua.

"Terima kasih kepada NKRI yang telah menyekolahkan saya sehingga saya paham bahwa yang terjadi di Nduga saat ini adalah pelanggaran HAM berat," tulisnya di dinding Facebook-nya.

-
Status Veronica Koman menyindir pemerintah Indonesia. (Facebook)

Pada statusnya yang lain, Veronica juga menyindir pemerintah Indonesia dengan memplesetkan slogan NKRI harga mati, menjadi harga beasiswa yang diperolehnya.

"NKRI Harga 773.876.918," tulisnya.

-
Status Veronica Koman menyindir pemerintah Indonesia. (Facebook)

Veronica menilai hukuman itu diduga merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk membungkam dirinya supaya tidak lagi menyuarakan kasus pelanggaran HAM di Papua.

"Pemerintah Indonesia menerapkan hukuman finansial sebagai upaya terbaru untuk menekan saya berhenti melakukan advokasi hak asasi manusia (HAM) Papua. Setelah mengkriminalisasi, lalu meminta Interpol untuk mengeluarkan ‘red notice’, dan mengancam untuk membatalkan paspor saya, kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918," tulisnya, dalam keterangan pers yang dibagikan

Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Rionald Silaban mengatakan penerima beasiswa yang kuliah di luar negeri harus kembali ke Indonesia setelah selesai studi. Dasar itulah yang membuat mereka meminta Veronica Koman mengembalikan uang beasiswa tersebut.

Namun, apa yang disampaikan Rionald itu dibantah oleh Veronica. 

"Kenyataannya, saya kembali ke Indonesia pada September 2018 setelah menyelesaikan program ?Master of Laws ?di ?Australian National University?. Faktanya sejak Oktober 2018 di Indonesia, saya melanjutkan dedikasi waktu saya untuk advokasi HAM, termasuk dengan mengabdi di Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia untuk Papua (PAHAM Papua) yang berbasis di Jayapura," tulis Koman.

"Saya ke Swiss untuk melakukan advokasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Maret 2019 dan kembali ke Indonesia setelahnya. Saya memberikan bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua pada tiga kasus pengadilan yang berbeda di Timika sejak April hingga Mei 2019," lanjutnya.

"Saya lalu berkunjung ke Australia dengan menggunakan visa tiga bulan saya untuk menghadiri wisuda yang diselenggarakan pada Juli 2019. Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian Indonesia dan berikutnya saya ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019."

"Pada masa Agustus-September 2019 ini, saya tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat oleh aparat ketika internet dimatikan di Papua, yakni dengan tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri."

"Bukan hanya ancaman mati dan diperkosa kerap saya terima, namun juga menjadi sasaran misinformasi online yang belakangan ditemukan oleh investigasi Reuters sebagai dibekingi dan dibiayai oleh TNI."

"Kemenkeu telah mengabaikan fakta bahwa saya telah langsung kembali ke Indonesia usai masa studi, dan mengabaikan pula fakta bahwa saya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia apabila tidak sedang mengalami ancaman yang membahayakan keselamatan saya."

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X