Saat Penyebaran Rabies Masif, Ketersediaan Vaksin Masih Terbatas

- Rabu, 4 September 2019 | 13:13 WIB
photo/North Hill Animal Hospital/Wikipedia
photo/North Hill Animal Hospital/Wikipedia

Gigitan hewan yang diduga membawa virus rabies terbukti nyata telah menimbulkan banyak korban. Kasus rabies di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, pertama kali terjadi pada 1997 di Kabupaten Flores Timur. Tak perlu waktu lama, virus itu langsung mewabah ke sembilan kabupaten lainnya di daratan Pulau Flores dan Lembata.

Saat itu, ditemukan orang yang sakit dengan gejala rabies dan memiliki riwayat pernah digigit anjing dalam beberapa minggu sebelumnya. Dari hasil pemeriksaan di laboratorium, ditemukan fakta bahwa orang-orang tersebut positif terjangkit virus rabies.

Penyelidikan epidemiologi menemukan penularan penyakit tersebut disebabkan oleh tiga ekor anjing yang dibawa oleh nelayan dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemis rabies. Anjing-anjing tersebut dibawa secara ilegal oleh para nelayan ke Pulau Flores melalui Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur di ujung timur Pulau Flores.

-
photo/North Hill Animal Hospital

Hanya dalam waktu satu tahun, rabies sudah menyebar di daratan Flores dan Lembata. Di antaranya di Kabupaten Sikka (1998), Kabupaten Ende (1999), Kabupaten Ende (1999), Kabupaten Ngada (2000) dan terakhir Kabupaten Manggarai (2001).

Pada akhir tahun 2001, virus rabies menyebar hingga ke arah Timur yaitu di Pulau Lembata. Sementara di Provinsi NTT, rabies hanya menyebar di sembilan kabupaten di Pulau Flores. Perjalanan wabah rabies dari tahun 1997 hingga 2012 di Flores dan Lembata telah mencapai 32.740 kasus gigitan dengan jumlah korban yang meninggal dunia sebanyak 228 orang.

Hingga Februari tahun 2014, kematian meningkat 7,89 persen menjadi 246 kasus. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia menargetkan Indonesia bebas rabies di tahun 2020 dan Flores-Lembata bebas rabies pada 2017. Namun, sampai saat ini, kasus rabies masih tetap terjadi.

Bagaimana Upaya Pengendalian dan Pemberantasan Virus Rabies?

Bicara terkait upaya pengendalian dan pemberantasan virus rabies , ada empat subsistem yang dinilai sangat berperan. Di antaranya, sistem surveilans dan monitoring nasional, kewaspadaan dini dan darurat penyakit, informasi kesehatan hewan, dan kesehatan masyarakat veteriner.

-
photo/Wikipedia

Virus lyssa bersifat neurotrop yang akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3 milimeter per jam. Selanjutnya, virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.

Virus lyssa merupakan suatu virus mematikan yang menyebar ke manusia dari air liur hewan yang terinfeksi. Lyssavirus termasuk virus yang sangat langka. Di Indonesia sendiri, ada kurang dari 15 ribu kasus per tahun. Gejalanya meliputi demam, sakit kepala, kelebihan air liur, kejang otot, kelumpuhan, dan kebingungan berlebih.

Keganasan Lyssavirus terjadi pada hewan domestik atau hewan liar dengan tingkat fatalitas mencapai 100 persen terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.

Virus Rabies Dominan Ditularkan Anjing

Virus rabies yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) dan kebanyakan adalah anjing. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), tercatat 99 persen kasus rabies yang terjadi pada manusia ditularkan oleh anjing. Di Indonesia, 98 persen kasus rabies ditularkan akibat gigitan anjing dan 2 persen adalah akibat gigitan kucing dan kera.

-
photo/dailyfinland.fi

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyebutkan anjing merupakan 'Population at Risk' di Flores dan Lembata. Anjing merupakan hewan yang paling dekat dengan manusia karena sifatnya setia terhadap tuannya. Di Flores dan Lembata, anjing dapat digunakan sebagai hewan penjaga keamanan di rumah maupun kebun, selain dipercaya sebagai penemu air dan api, sehingga anjing sangat disayangi dan mendapat perhatian khusus.

Vaksinasi merupakan salah satu langkah pemerintah dalam upaya mengendalikan rabies di Flores dan Lembata. Namun, upaya tersebut masih terkendala karena keterbatasan vaksin yang disiapkan, bahkan telah kehabisan stok Vaksin Anti Rabies (VAR). Hasil penelitian diperkuat oleh informasi Kepala Seksi Penanggulangan Penyakit dan Rabies Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata bahwa kasus gigitan anjing terus meningkat, namun Kabupaten Lembata kehabisan stok VAR.

Menurut WHO, empat dari 10 anak meninggal dunia setiap tahunnya karena terinfeksi rabies. Di Indonesia, sebagian besar terjadi pada anak-anak antara 5-9 tahun dengan angka kematian 100 persen.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X