Berawal dari Secangkir Kopi, Cinta Pace dan Teteh Bersemi

- Senin, 7 Oktober 2019 | 10:49 WIB
ANTARA/Desi Purnamawati
ANTARA/Desi Purnamawati

Cinta dapat tumbuh dengan berbagai alasan dan tak bisa dipastikan akan berlabuh pada hati siapa. Cinta juga tak mengenal perbedaan ras, baik itu dari segi warna kulit maupun bentuk fisik lainnya. Sudah semestinya cinta menerima segala kondisi dan perbedaan yang ada.

Perbedaan dalam suatu hubungan tak menjadi batasan bagi dua insan yang ingin bersatu dalam sebuah hubungan bahkan hingga ke jenjang pernikahan. Seperti kisah yang dialami oleh lelaki berkulit gelap dengan rambut keriting bernama Kantius Wenda dan perempuan berkulit putih berambut lurus sebahu bernama Yuliani Rahmawati.

Dilansir dari ANTARA, dalam sebuah acara Paguyuban Sunda di Wamena, kedua pasangan ini menceritakan kisah cinta mereka sebelum menikah dan memiliki anak.

Dalam kesempatan itu, Kantius bersama dengan istrinya duduk santai sambil tangannya menggendong sang buah hati yang baru berusia 1,2 tahun berambut keriting yang tertidur nyenyak di pangkuannya.

-
ANTARA/Desi Purnamawati

Di depan mereka duduk anak perempuan bernama Katnis Aurora Wenda yang menggemaskan sedang asyik bermain dan tak menghiraukan suasana di Paguyuban Sunda. Sesekali Katnis atau yang akrab disapa Kasih bermain dengan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Kasih dan juga Kayla Obelom Wenda, bayi yang digendong Yuliani adalah buah cinta pernikahan mereka yang berlangsung beberapa tahun lalu. Jika diperhatikan, pasangan ini memiliki penampilan yang cukup kontras. Yang satu berambut keriting berkulit gelap, sang istri berambut lurus sebahu dengan warna kulit lebih cerah.

Kantius sendiri adalah warga Papua yang berasal dari Kabupaten Lanny Jaya, sedangkan Yuliani adalah warga Sunda yang berasal dari Bogor Jawa Barat. Mereka dipertemukan di Wamena. Benih-benih cinta diantara mulai bersemi saat Kantius, yang bekerja sebagai staf konsultan sipil bertemu dengan Yuliani di kediaman bupati.

Ketika itu Yuliani bekerja membantu keperluan sehari-hari ibu bupati, sedangkan Kantius, hampir setiap hari ke kediaman untuk mengerjakan proyek perbaikan bangunan. Setiap Kantius datang, Yuliani selalu menyajikan secangkir kopi. Kopi hitam bercita rasa pahit tak lagi dirasakan oleh Kantius sebab hatinya diselimuti bunga-bunga cinta. Bak gayung bersambut, keduanya lalu menjalin hubungan dan memutuskan untuk menikah.

Bukan tanpa rintangan, keinginan keduanya untuk menyatukan hubungan dalam ikatan pernikahan sempat mendapatkan tentangan dari kedua belah pihak. Namun, dengan keyakinan penuh keduanya berusaha untuk meyakinkan dan menunjukkkan bahwa perbedaan tak menjadi masalah untuk membina hubungan yang harmonis. Bukan hanya perbedaan warna kulit, namun juga perbedaan lain meliputi agama dan budaya, tapi semuanya tidak menjadi penghalang bahkan menyatukan mereka.

"Dia baik, makanya saya mau dengan pace," ujar Yuliani.

Pace merupakan panggilan bagi laki-laki dewasa di Papua, sementara Yuliani disapa teteh yang merupakan panggilan akrab untuk perempuan dewasa di Sunda.

-
ANTARA/Desi Purnamawati

Saat acara Paguyuban Sunda berlangsung, Kantius sempat merasa gugup karena sosoknya yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.

"Bisa diterima sudah bersyukur, mereka sangat bersahabat, saya senang. Mereka baik dan bersahabat," ujar Kantius.

Namun karena ia telah mengenal beberapa dari anggota Paguyuban tersebut, membuatnya merasa nyaman saat berkumpul. Terlebih Pace telah terbiasa bergaul dengan orang pendatang di Papua. Ini juga didukung dengan pengalamannya saat berkuliah di Pulau Jawa.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X