Peraturan Menteri soal Ekspor Benih Lobster Bisa Untungkan Semua Pihak, Benarkah?

- Jumat, 24 Juli 2020 | 09:40 WIB
Nelayan memberi pakan budidaya lobster dan ikan di keramba apung di Ulee Lheu, Banda Aceh (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)
Nelayan memberi pakan budidaya lobster dan ikan di keramba apung di Ulee Lheu, Banda Aceh (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali menegaskan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang ekspor benih lobster menguntungkan nelayan, pembudidaya, pelaku usaha, maupun negara. Artinya menguntungkan semua pihak.

"Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 ini, semua pihak mendapat keuntungan. Nelayan yang menangkap benih mendapat nilai ekonomi, para pembudidaya menerima juga nilai ekonomi, para pengusaha yang melakukan ekspor juga mendapat untung, dan negara juga mendapat pemasukan. Jadi Everybody happy. Semua mendapat manfaat dari Permen ini, yang tidak didapat di Peraturan Menteri No. 56 Tahun 2016," kata Staf Khusus Menteri KPP, TB Ardi Januar dalam penjelasannya, Jakarta, Jumat (24/7/2020).

TB Ardi menjelaskan, keputusan mengeluarkan Permen KP Nomor 12 melalui proses panjang dengan melibatkan para ahli di bidang kelautan perikanan dan juga ahli ekonomi. Keterlibatan para ahli merupakan perintah langsung Menteri Edhy Prabowo agar baleid yang ambil benar-benar matang.

Alasan lain KKP mengeluarkan PerMen 12 tahun 2020 adalah, karena keluh-kesah ribuan nelayan penangkap lobster yang kehilangan mata pencarian sejak terbitnya Permen KP 56/2016. Permen tersebut juga melarang pengambilan benih untuk dibudidaya sehingga mematikan usaha budidaya lobster masyarakat.

"Yang jelas bahwa di Permen 56 nelayan tidak mendapat nilai ekonomi, pembudidaya tidak mendapat nilai ekonomi, negara tidak mendapat pemasukan. Sementara benih tetap diambil oleh penyelundup," ujarnya.

Dia bercerita, saat pengambilan benih lobster dilarang ironinya penyeludupan terus berjalan. Akibatnya tidak hanya nelayan dan pembudidaya yang terpuruk ekonominya, negara juga rugi. Berdasarkan data PPATK, kerugian negara imbas penyelundupan benih lobster mencapai Rp900 miliar.

-
Ilustrasi petambak memanen udang lobster di karamba apung, Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Aceh. (ANTARA/Ampelsa)

Di samping itu, pelarangan penangkapan benih lobster mengakibatkan persoalan sosial di tengah masyarakat. Sejumlah nelayan penangkap benih ditangkap aparat, yang berujung pada pembakaran kantor polisi di Pandeglang dan Sukabumi.

Menurutnya, Menteri Edhy tak cuma mementingkan manfaat ekonomi dalam menerbitkan kebijakan. Keberlanjutan lobster dan kelestarian lingkungan juga masuk perhitungan.

"Itulah sebabnya, penangkapan benih harus menggunakan alat statis yang tidak merusak ekosistem laut dan pembudidaya diwajibkan melepasliarkan hasil panen 2 persen ke alam, khususnya di wilayah konservasi," ungkapnya.

Kerena itu, dia pun memastikan Permen KP Nomor 12 tahun 2020 sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

"Mari kita awasi sama-sama, ini PerMen sudah berjalan. Kita lihat 2-3 tahun ke depan, kalau lobster itu betul-betul punah seperti yang dikhawatirkan, sejarah akan menghukum Edhy Prabowo. Tapi kalau dalam kurun waktu yang sama lapangan kerja tercipta, pendapatan nelayan bertambah, pemasukan negara bertambah, ya harus diakui bahwa Permen 12 ini adalah solusi, bahwa Edhy Prabowo meninggalkan legacy yang bermanfaat," tandasnya.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X