4 Terdakwa Kasus Jiwasraya Divonis Penjara Seumur Hidup

- Selasa, 13 Oktober 2020 | 09:59 WIB
Suasana sidang putusan kasus dugaan korupsi pengelolaan investasi saham dan reksa dana PT Asuransi Jiwasraya (AJS) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/10/2020).  (Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari)
Suasana sidang putusan kasus dugaan korupsi pengelolaan investasi saham dan reksa dana PT Asuransi Jiwasraya (AJS) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (12/10/2020). (Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari)

Empat terdakwa kasus korupsi Asuransi Jiwasraya, yaitu Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya 2008-2014 Syahmirwan dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto dijatuhi vonis penjara seumur hidup.

Ketua majelis hakim Rosmina di pengadilan Tipikor Jakarta menjelaskan Joko Hartono Tirto divonis seumur hidup karena terbukti melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp16,807 triliun terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero).

"Mengadili, menyatakan terdakwa Joko Hartono Tirto secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama seumur hidup," kata Rosmina di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/10/2020) malam.

Putusan itu sama dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar Joko dipidana penjara seumur hidup dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan Joko Hartono Tirto.

"Terdakwa memanfaatkan kedekatan dengan Hary Prasetyo dengan cara-cara licik seolah ingin membebaskan Jiwasraya dari kebangkrutan, namun menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Perbuatan itu dilakukan dalam waktu yang cukup lama yaitu kurun waktu 10 tahun dan baru berhenti setelah direksi berganti. Jabatan terdakwa sebagai 'advisor' PT Maxima Integra hanya untuk mempermudah terdakwa untuk melakukan perbuatannya," jelas hakim Rosmina.

Majelis hakim juga menilai perbuatan meringankan Joko Hartono layak untuk tidak dipertimbangkan.

"Perbuatan terdakwa merusak dunia pasar modal dengan memanfaatkan transaksi pasar modal dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi, menyebabkan kerugian langsung kepada masyarakat banyak khususnya nasabah asuransi. Terdakwa memang bersikap sopan dan merupakan kepala keluarga, tapi terdakwa yang tidak menyesali dan mengakui perbuatannya sehingga menjadikan sikap sopan dan status kepala keluarga terdakwa tersebut terhapus dalam perbuatannya," ungkap hakim Rosmina.

-
Terdakwa Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya pada sidang lanjutan kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor, Jakarta. (Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat)

Vonis tersebut berdasarkan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut hakim, Joko Hartono Tirto bersama-sama dengan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) 2008-2018 Hendrisman Rahim, Direktur Keuangan Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya 2008-2014 Syahmirwan, Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat melakukan berbagai perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp16,807 triliun dalam pengelolaan dana PT Asuransi Jiwasraya.

Perbuatan-perbuatan tersebut adalah pertama, Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo dan Syahmirwan melakukan kesepakatan dengan Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Joko Hartono Tirto dalam pengelolaan Investasi Saham dan Reksa Dana PT Asuransi Jiwasraya (AJS) yang tidak transparan dan tidak akuntabel.

Kedua, pengelolaan saham dan reksa dana itu dilakukan tanpa analisis yang didasarkan pada data objektif dan profesional dalam Nota Intern Kantor Pusat (NIKP) tetapi analisis hanya dibuat formalitas bersama.

Ketiga, pembelian saham BJBR, PPRO adn SMBR telah melampaui ketentuan yang diatur dalam pedoman investasi yaitu maksimal sebesar 2,5 persen dari saham beredar.

Keempat, melakukan transaksi pembelian dan/atau penjualan saham BJBR, PPRO, SMBR dan SMRU dengan tujuan menginternvensi harga yang akhirnya tidak memberikan keuntungan investasi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan likuiditas guna menunjang kegiatan operasional.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

X