Menko Polhukam Mau Bentuk Tim Pemburu Koruptor, IPW: Tidak Ada Gunanya

- Selasa, 21 Juli 2020 | 11:28 WIB
Mahfud MD (kiri) dan Djoko Tjandra (kanan). (Foto: Istimewa)
Mahfud MD (kiri) dan Djoko Tjandra (kanan). (Foto: Istimewa)

Kebijakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang berencana membentuk tim pemburu koruptor mendapat kritik pedas dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane.

Menurut Neta, Mahfud hanya perlu mengawasi secara agresif lembaga penegak hukum dan instansi di bawah koordinasinya agar serius memberantas korupsi, terutama menangkap Joko Tjandra dan menciduk semua pejabat negara yang memberi "karpet merah" pada buronan kelas kakap tersebut.

Neta menilai pembentukan Tim Pemburu Koruptor dari rezim ke rezim tidak ada gunanya. 

"Koruptor tetap nyaman dan happy kabur ke luar negeri. Saat ini misalnya, ada 39 koruptor buronan di luar negeri karena Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk rezim masa lalu kerjanya slow slow saja," ujar Neta dalam keterangan pers yang diterima Indozone.id, Selasa (21/7/2020).

Ketimbang menghabis-habiskan uang membentuk tim koruptor, Mahfud disarankan untuk mendorong percepatan penangkapan Djoko Tjandra dan mengawasi secara agresif kinerja lembaga di bawah koordinasinya, yakni Polri, Kejaksaan, Menkumham, dan lainnya.

"Ini lebih bermanfaat ketimbang Mahfud berhalusinasi dengan pembentukan Tim Pemburu Koruptor, yang bisa tumpang tindih dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK," tegas Neta.

Mahfud antara lain disarankan untuk segera mendalami pengakuan Mabes Polri yang mengatakan bahwa Brigjen Prasetyo mendampingi Djoko Tjandra dalam perjalanan ke Kalimantan Barat. 

"Bagi IPW pengakuan Mabes Polri ini tidak mengejutkan. Jauh hari sebelumnya, IPW sudah mendapat foto Brigjen Prasetyo mendampingi buronan kakap Djoko Tjandra ke Pontianak dan IPW juga mendapat fotocopy dokumen perjalanan mereka," sambung Neta.

Yang perlu digali Menko Polhukam dari penjelasan Mabes Polri itu, kata Neta, adalah soal dalam rangka kepentingan apa antara jenderal polisi itu dengan sang buronan kakap ke Kalimantan Barat. 

"Benarkah Brigjen Prasetyo mengawal Joko Tjandra agar tidak diganggu siapa pun selama perjalanan ke Kalimantan Barat. Apakah pengawalan sang jenderal ini murni gratis dan tidak ada gratifikasi di baliknya? Mungkinkan pengawalan itu inisiatif pribadi atau ada jenderal yang lebih tinggi yang memerintahkan Brigjen Prasetyo mengawal Djoko Tjandra?" ujar Neta.

"Jika pengawalan itu atas inisiatif Brigjen Prasetyo tentunya saat Djoko Tjandra muncul di Bandara Pontianak sudah ditangkap oleh Kapolda Kalbar, mengingat pangkat Kapolda lebih tinggi dari Prasetyo. Jika Kapolda Kalbar tidak tahu bahwa Djoko Tjandra muncul di wilayah tugasnya, ini akan lebih aneh lagi. Sebab akan menjadi pertanyaan, kenapa Kapolda Kalbar tidak tahu, ada apa dengan cara kerja intelijen di Polda Kalimantan Barat sehingga mereka tidak bisa mendeteksi kemunculan seorang buronan kakap di wilayah tugasnya," Neta melanjutkan.

"Untuk itu Menko Polhukam perlu mendesak Mabes Polri menjelaskan secara transparan tentang aksi pengawalan Brigjen Prasetyo terhadap Djoko Tjandra dan kenapa Kapolda Kalimantan Barat membiarkan serta tidak menangkap buronan kakap yang sudah buron selama 11 tahun tsb. Agar mata rantai kasus Joko Tjandra ini terungkap terang benderang dan para pejabat Mabes Polri tidak membuat misteri baru dalam kasus Joko Tjandra, Menko Polhukam perlu agresif mengawasi kinerja Polri. Ini lebih urgent dan strategis ketimbang membentuk Tim Pemburu Koruptor. Wong koruptornya sudah datang ngga ditangkap kok malah dikasih surat jalan, lalu apa manfaat Tim Pemburu Koruptor?" imbuh Neta.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X