13 Sungai Jakarta Tidak Akan Cukup Cegah Jakarta Banjir, Ini Solusinya

- Senin, 6 Januari 2020 | 17:06 WIB
Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi (bawah) dan yang sudah dinormalisasi (kiri) di kawasan Bukit Duri, Jakarta. (Antara/Muhammad Adimaja)
Foto udara suasana wilayah bantaran sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi (bawah) dan yang sudah dinormalisasi (kiri) di kawasan Bukit Duri, Jakarta. (Antara/Muhammad Adimaja)

Sebanyak 13 aliran sungai yang melalui Jakarta, disebut tidak akan cukup untuk mencegah banjir tidak terjadi lagi di Jakarta, meski sungai tersebut telah di normalisasi hingga memiliki lebar 50 meter, diturap dan diberi jalan inspeksi.

Apalagi jika ke-13 aliran sungai tersebut hanya di 'Naturalisasi' ala Gubernur Anies Baswedan. Hal itu dikatakan oleh Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali saat dihubungi Indozone, Senin (6/1). 

Menurut Ali yang juga pakar dan peneliti lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI), langkah yang bisa diambil pemerintah pusat dan daerah harus sesuai komitmen yang tertuang pada rencana tahun 2013 silam.

Pada rencana 2013, pemerintah pusat dan daerah  berkomitmen untuk menanggulangi banjir dengan sinergi di hulu dan hilir, yakni:

  1. Revitalisasi kawasan hulu
  2. Membangun DAM pengendali aliran air di hulu
  3. Normalisasi sungai
  4. Pembangunan tanggul laut untuk mencegah penurunan muka tanah
  5. Penyediaan daerah resapan dan ruang hijau di perkotaan

Namun demikian, walaupun komitmen itu dijalankan seluruhnya, masih belum mampu untuk membebaskan 100 persen Jakarta dari banjir. 

"Kita butuh tambahan banyak sungai di Jakarta ini. Sama dengan kita butuh tambahan jalan kan. Kalau sekarang 13 sungai, kita mungkin butuh 13 sungai lagi, jadi 26 sungai dengan ukuran yang besar agar kita dengan mudah mengalirkan air sungai ke laut," kata Firdaus.  

Menurutnya, untuk pembangunan satu sungai buatan saja, hal itu sangat sulit karena terkendala pembebasan lahan. Maka itu, kata Firdaus, pada 2007 lalu dirinya pernah mengusulkan untuk pembangunan Multi Purpose Deep Tunnel (Terowongan multi fungsi) atau sungai buatan di bawah air untuk mengalirkan air dari hulu ke hilir. 

"Tahun 2007 saya mendesainkan sungai baru, sekapasitas Ciliwung, tapi tidak perlu membebaskan lahan. Bikin sungai di bawah tanah, namanya Multi Purpose Deep Tunnel. Kedua, kita bikin sama seperti di Jepang dan Singapura, kita bikin underground reservoir," jelas Firdaus. 

Namun demikian, hingga saat ini ide tersebut tidak juga direalisasikan oleh pemerintah. Bahkan menurut Firdaus, upaya normalisasi sungai pun saat ini tidak berjalan karena perbedaan pandangan antara Kementerian PUPR yang memiliki program normalisasi sungai, dengan kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang programnya dinamakan naturalisasi sungai. 

"Dengan konsep normalisasi saja itu belum cukup, apalagi justru sekarang normalisasi saja tidak berjalan," pungkas Firdaus. 

Sebagai informasi saja, konsep gorong-gorong raksasa atau Multi Purpose Deep Tunnel sebagai sungai bawah tanah sendiri sebenarnya sudah banyak diterapkan di berbagai negara.

Tak usah jauh-jauh ke Eropa, bahkan di Malaysia saja, sudah menggunakan teknologi gorong-gorong raksasa di Ibukota Kuala Lumpur. Nama teknologi gorong-gorong raksasa yang digunakan di Malaysia adalah Stormwater Management And Road Tunnel (SMART Tunnel).

Ketika Jakarta masih berdebat soal solusi banjir, Kuala Lumpur sudah menikmati teknologi gorong-gorong raksasa ini sejak tahun 2007.Gorong-gorong ini telah membentang sepanjang 9,7 km atau menjadi yang terpanjang di Asia Tenggara dan nomor dua terpanjang di Asia.Biaya pembangunannya mencapai Rp7,1 triliun.

Fungsinya adalah menjadi solusi banjir bandang di Kuala Lumpur dan juga berfungsi sebagai jalan tol untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X