Seru! Food Estate Bisa Saja Dibangun di Kawasan Hutan Lindung, Begini Kritikan Walhi

- Minggu, 15 November 2020 | 22:30 WIB
Kolase Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati (ANTARA) dan Presiden Jokowi saat meninjau food estate alias lumbung pangan di Sumatera Utara (Instagram @luhut.pandjaitan)
Kolase Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati (ANTARA) dan Presiden Jokowi saat meninjau food estate alias lumbung pangan di Sumatera Utara (Instagram @luhut.pandjaitan)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi kebijakan baru yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait akses yang diberikan untuk pembangunan food estate di kawasan hutan lindung.

Dilansir dari ANTARA, Minggu (15/11/2020), Walhi menjelaskan konsekuensi logis dari penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate/

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati, Permen tersebut bakal berkonsekuensi terhadap naiknya laju penebangan hutan alam. Kemudian juga akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Permen tersebut menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Selain itu, pengecualian kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR) menjadi catatan penting bahwa negara semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi.

Saat ini, 33,45 juta hektare (ha) atau 26,57 persen kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta ha kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis.

Dari sisi substansi, menurut Walhi, ada enam persoalan mendasar dari Permen LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020. Pertama, pasal 1 peraturan itu memahami bahwa food estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan.

Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” yang mengaitkannya dengan pandemi COVID-19 tidak tepat.

Sentralisasi pengelolaan pangan tentu akan menyisakan problem distribusi yang akan memperbesar biaya dalam rantai pasok, harusnya persoalan pangan dikembalikan pada petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan skala luas.

Ketiga, pada pasal 4 dan 9, “pernyataan komitmen” izin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) tidak tepat, menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi Kawasan hutan langsung dilakukan.

Keempat, pada pasal 4, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat tidak berdasar serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat. Istilah itu beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek food estate tetapi juga pada proyek Ibu Kota Negara (IKN).

Lalu kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung.

Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (Pasal 20 huruf c). Pada pasal 31, KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.

Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran PSDH dan/atau DR seperti tertera pada Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3) Permen LHK yang ditetapkan pada 26 Oktober 2020 dan disahkan 2 November 2020.

Artikel Menarik Lainnya:

 

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X