Menkumham: Pengaturan Unggas dalam KUHP Masih Dibutuhkan Petani

- Sabtu, 21 September 2019 | 12:36 WIB
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly menegaskan bahwa pengaturan tentang unggas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini masih dibutuhkan petani.

"Ketentuan pasal ini merupakan materi yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP lama. Pada saat ini, di pedesaan masih diperlukan untuk melindungi para petani," kata Yasonna dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (20/9).

Adapun revisi KUHP Pasal 278 menyebutkan:

"Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II."

-
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

"Setiap orang yang membiarkan unggas di ternaknya berjalan di kebun justru ancamannya kita buat kategori dua menjadi lebih rendah dari apa yang diatur KUHP. Mengapa ini masih diatur, (karena) kita ini masih ada desa," tambah Yasonna.

Sementara, dalam KUHP lama Pasal 548 disebutkan bahwa barang siapa tanpa wewenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi atau ditanami, akan dipidana dengan denda maksimal Rp25. Dalam revisi KUHP, nilainya menyesuaikan nilai mata uang Rupiah sekarang.

"Masyarakat kita banyak yang agraris, banyak petani yang membibitkan, nyawah, dan lainnya. Ada orang usil, dia tidak pidana badan, melainkan hanya denda dan itu ada di KUHP lama dan di KUHP lama lebih berat sanksinya. Nah, kita buat ini lebih rendah. Jadi, jangan dikatakan mengkriminalisasi," ungkap Yasonna.

Ketua Tim Perumus Rancangan KUHP Muladi menambahkan bahwa kritik terhadap revisi KUHP dilakukan secara sporadis dan ad hoc.

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

"Artinya, itu tidak mendasar karena sebenarnya rancangan KUHP ini rekodifikasi total, bukan amendemen, bukan revisi untuk membongkar pengaruh kolonial Belanda 100 tahun. Jangan sampai gagal. Ditunda boleh, tetapi gagal berarti kita cinta penjajahan," kata Muladi.

Menurut Muladi, dalam merumuskan KUHP, tim perumus selalu menggunakan margin appreciation dan testing stone atau batu penguji, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) NKRI Tahun 1945, Hak Asasi Manusia (HAM) dan kewajiban HAM, serta asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.

Semula, pengesahan RKUHP dijadwalkan pada Rapat Paripurna DPR, 24 September 2019. Namun, Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan revisi KUHP. Hal itu dikarenakan masih ada sekitar 14 pasal yang harus ditinjau ulang dan berharap pengesahan RKUHP dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Presiden meminta Menkumham Yasonna Laoly untuk menambah masukan dan mengumpulkan usulan dari masyarakat. Revisi KUHP dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dimulai sejak Presiden mengeluarkan Surat Presiden berisi kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP pada 5 Juni 2015. Namun, rencana tersebut selalu tertunda.

Adapun KUHP yang saat ini diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.

-
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Rencana revisi KUHP sendiri sudah dimulai sejak 1963. Tim perumus RKUHP sepakat tidak membuat KUHP sama sekali dari nol, melainkan merekodifikasi KUHP Hindia Belanda. 

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X