Tolak Tradisi Sinamot dalam Suku Batak, Pemuda Ini Acungkan Jari Tengah, Ini Alasannya

- Sabtu, 27 Juni 2020 | 14:32 WIB
Akun Felix Zoentach mengacungkan jari tengah menolak tradisi sinamot dalam suku Batak. (Foto: Facebook/Felix Zoentach)
Akun Felix Zoentach mengacungkan jari tengah menolak tradisi sinamot dalam suku Batak. (Foto: Facebook/Felix Zoentach)

Tradisi pemberian sinamot oleh laki-laki kepada perempuan dalam budaya Suku Batak menuai penolakan dari seorang pemuda dengan nama akun Facebook Felix Zoentach.

Di dinding Facebook-nya, Felix menilai, sinamot atau mahar yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak mempelai perempuan sebagai simbol pelecehan dan perendahan martabat perempuan. 

"Orang bisa berkilah lain tapi realitasnya begitu. di banyak tragedi adat, hal semacam ini sering menjadi dasar argumentasi oleh seorang pria ataupun masyarakat pria untuk merendahkan martabat manusia perempuan, mengontrol perempuan dan secara sistematis membatasi hak dan peran sosial perempuan dalam masyarakat," tulis Felix.

Pembayaran sinamot, menurut pemuda yang mengaku kuliah jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial ini, menjadikan perempuan layaknya komoditas yang harganya ditentukan pasar.

"Sinamot atau budaya mahar ini seperti jebakan terhadap perempuan, kita tahu bahwa ketika harga sinamot naik maka perempuan itu seakan- akan Lebih berharga dari perempuan lainnya yang memiliki harga sinamot yang lebih tinggi. Tapi sebenarnya posisi secara sosial dan budaya perempuan sama, seperti komoditas yang sedang diperjualbelikan dan harganya ditentukan oleh permintaan pasar, harga produksi dan akses distribusi. Persis seperti barang," katanya.

"Dan yang paling penting dan yang paling mempunyai kekuatan untuk menentukan harga adalah laki-laki. Jangan heran bahwa di dalam masyarakat kita, masih sering kita temui perempuan yang bersikap pasif dalam acara-acara adat dan diskusi sosial dan dalam penentuan sebuah kebijakan atau norma sosial. Bukan karena laki- laki memiliki potensi atau lebih kreatif tapi karena secara struktural dan kultural perempuan cenderung disingkirkan, salah satu caranya adalah dengan membeli mereka," sambungnya.

Pada unggahannya itu, Felix memajang fotonya dengan pose mengacungkan jari tengah sebagai simbol penolakannya atas tradisi sinamot tersebut. Ia juga menceritakan suatu kejadian yang menurutnya ironi dalam sebuah tragedi diskursus adat.

"Secara singkat begini ceritanya. ... Suatu ketika, ketika seorang laki-laki mabuk dan pada gilirannya dia Mandok Hata ( memberikan pendapat), sang istri menunjuk tangan untuk menggantikan suaminya, karena suaminya dalam keadaan mabuk berat. Ironi terjadi, saut sang suami lantang " sip maho, ai na dituhor do ho, dang adong hak mu mangkatai dison " ( diamlah kau, kau adalah " barang" yang dibeli, kau tidak mempunyai hak berbicara disini), semua orang yang berkumpul dalam ruangan tersebut setuju seperti kawanan ternak dengan pernyataan sang laki - laki mabuk tersebut," ceritanya.

"Sebelum acara diskusi itu sebenarnya sudah ada kesepakatan secara lisan diantara tokoh masyarakat bahwa memang perempuan, karena adalah dalam posisi dibeli maka dia tidak mungkin mengerti dan mempunyai hak dalam berargumen dan tidak memiliki nilai.

Pesannya adalah Dalam masyarakat yang masih mengamini sinamot ( patriarki) dan dalam masyarakat yang masih dikuasai laki - laki, maka pendapat atau argumentasi seorang laki-laki mabuk lebih berharga daripada seorang perempuan, hanya karena si mabuk ini adalah laki - laki. DAN KARENA INI ADALAH CIPTAAN MANUSIA DAN TIDAK DATANG DARI TUHAN MAKA INi SEMUA BISA DIRUBAH BERSAMBUNG....
note : foto di bawah adalah simbol fuck untuk kultur di atas. Amin," tulisnya di bagian akhir.

Artikel Menarik Lainnya:

 

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Polres Langkat Musnahkan Barbuk Ganja dan Sabu

Rabu, 17 April 2024 | 11:20 WIB
X