Seleksi PPDB Berdasarkan Usia, Sosiolog Pendidikan: Terlalu Kaku

- Selasa, 21 Juli 2020 | 19:02 WIB
Peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK-SBMPTN) di Universitas Negeri Jakarta, Minggu (5/7/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)
Peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK-SBMPTN) di Universitas Negeri Jakarta, Minggu (5/7/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)

Kisruh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020 di DKI Jakarta hingga saat ini masih menjadi perbincangan. Tak sedikit pihak khususnya orangtua dan calon siswa yang merasa kecewa karena kriteria seleksi di tahap zonasi berdasarkan usia. Sebab bila merujuk sistem zonasi, kriteria seleksi pada PPDB melihat jarak antara rumah dengan sekolah.

Sosiolog pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat PhD mengatakan, kriteria seleksi berdasarkan usia di tahap zonasi merupakan kesalahan. Sebab secara teori dan prinsip, zonasi harusnya memperhitungkan jarak.

“(Seleksi) zonasi menggunakan usia yang lebih tua secara konseptual dan filosofis itu salah. Dalih dengan logika yang menyatakan usia tua lebih matang untuk sekolah atau sekolah jangan terlalu muda sekolah itu justru menjadi kontraproduktif dengan sistem zonasi. Tidak ada argumen apapun yang bisa dibenarkan karena sebenarnya zonasi berdasarkan jarak,” kata Rakhmat dalam suatu diskusi online, Selasa (21/7/2020).

Ia menilai, kriteria seleksi tahap zonasi berdasarkan usia merupakan masalah yang sangat kompleks. Rakhmat mengatakan, dalam hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta terlalu kaku saat menyelenggarakan PPDB dengan kriteria usia. Padahal ada kriteria lain yang harusnya lebih komperehensif.

“Cara pandangnya sangat kaku dan terlalu administratif, itu menciderai proses pendidikan,” ucap Rakhmat.

-
Peserta mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UTBK-SBMPTN) di Universitas Negeri Jakarta, Minggu (5/7/2020). (INDOZONE/Arya Manggala)

Ia mengatakan, banyaknya calon siswa yang tidak lolos dalam proses seleksi karena faktor usia memicu masalah lain. Terlebih ada ucapan jika calon siswa tidak lolos di sekolah negeri maka bisa beralih ke sekolah swasta. Hal ini bisa membuat calon siswa dari kelompok miskin tersingkir dan akhirnya membuat ia putus sekolah.

“Pernyataan kalau anak tidak diterima di sekolah negeri lalu ke swasta, itu salah. Bukan kapasitas pemerintah menjawab seperti itu. Kalau mengatakan itu cara pandangnya ke rezim kapitalis pendidikan,” ujar Rakhmat.

Walaupun ada pernyataan pemerintah DKI Jakarta akan membantu calon siswa tidak mampu yang terpaksa bersekolah di sekolah swasta karena tidak lolos PPDB, dikatakan oleh Rakhmat itu bukan jalan keluar.

“Persoalannya bukan itu, akar permasalahannya akses anak-anak harus diperjuangkan dan diakomodir. Di sini pendekatan tidak komperehensif. Padahal bisa melihat prestasi, anak-anak miskin penerima KJP, itu harusnya dalam cara pandang komperehensif. Aksebilitas pendidikan harus didorong,” pungkas Rakhmat.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Rekomendasi

Terkini

X