Ini PR untuk Burhanuddin, dari Eksekusi Mati Sampai Kasus Mangkrak

- Rabu, 23 Oktober 2019 | 17:15 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin bersiap mengikuti foto bersama seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Beranda Istana Merdeka, Jakarta. (Antara/Wahyu Putro)
Jaksa Agung ST Burhanuddin bersiap mengikuti foto bersama seusai pelantikan menteri Kabinet Indonesia Maju di Beranda Istana Merdeka, Jakarta. (Antara/Wahyu Putro)

Sejumlah tugas dan pekerjaan rumah di Kejaksaan Agung menanti ST Burhanuddin, Jaksa Agung baru pengganti H.M Prasetyo yang dilantik Presiden Joko Widodo, Rabu (23/10) siang tadi. 

Mulai dari eksekusi terpidana mati hingga kasus mangkrak bakal menjadi menu pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan oleh mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) itu.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencatat ada 274 terpidana hukuman mati di seluruh Indonesia yang menanti eksekusi pada tahun ini. Mereka masih menunggu waktu dari balik jeruji.

Adapun terpidana mati itu terdiri 68 kasus pembunuhan, 90 narkoba, delapan perampokan, terorisme satu orang, pencurian satu orang, kesusilaan satu orang, dan 105 terpidana lainnya.

Selain eksekusi mati, sejumlah kasus yang mangkrak di Kejaksaan juga menjadi perhatian masyarakat. Pada Mei 2019 lalu, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) melayangkan gugatan ke Pengadilan Jakarta Selatan terkait 10 kasus yang mengendap di Kejaksaan.

Adapun 10 kasus yang menjadi catatan MAKI yakni, Cesie Bank Bali, mangkrak sejak 2005, kredit macet Bank Mandiri di PT Lativ mangkrak sejak 2007, Indosat IM2 mangkrak sejak 2013, Kondensat mangkrak sejak 2018, hibah Sumsel penyidikan sudah berlangsung dua tahun namun belum ditetapkan tersangkanya.

Kemudian hibah Pemkot Manado terkait Wali Kotanya, penyidikan sejak September 2018, kasus Pertamina di kasus pembelian Blok Minyak Manta Gummy Australia, kasus korupsi Dana Pensiun Pupuk Kaltim, kasus dana pensiunan Pertamina dan kasus Victoria Sekuritas.

Untuk kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) atau yang dikenal dengan kasus kondensat, negara dirugikan sebesar 2,716 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp35 triliun. Angka kerugian negara ini lebih besar dari kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik yang ditangani KPK.

Kasus kondensat ini terkait dengan dugaan korupsi dan pencucian uang penjualan kondensat bagian negara yang melibatkan SKK Migas, Kementerian ESDM, dan PT TPPI.

Kasus ini menyeret tiga tersangka, yakni mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, mantan Kepala BP Migas Raden Priyono, dan pendiri PT TPPI Honggo Wendratno. Kasus itu telah diselidiki Bareskrim Polri sejak tahun 2015.

Pada awal Agustus 2018 Wakapolri Syafruddin menyatakan Kepolisian telah melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan. Di sisi lain pada akhir Mei 2019, Jaksa Agung sebelumnya, H. M Prasetyo menyatakan pihaknya masih menunggu penangkapan Honggo yang buron hingga kini. 

Tujuannya agar kasus tersebut disidang secara bersamaan dengan dua tersangka lainnya. Kendati demikian Prasetyo tak bisa menargetkan penanganan kasus dapat terselesaikan pasca Pilpres 2019.

Sementara itu, pasca pelantikannya, Burhanuddin masih menunggu kabar perihal acara serah terima jabatan di Korps Adhyaksa. Menurutnya dalam acara serah terima jabatan nanti pasti ada pesan yang disampaikan Prasetyo kepada dirinya. 

"Sama beliau belum ketemu, pasti ada (pesan) dari beliau. Dia senior saya, saya hormat sama beliau," ujarnya di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (23/10).

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X