Kebakaran Hutan, 'Bencana Terjadwal' yang Seharusnya Tidak Terjadi

- Rabu, 18 September 2019 | 12:18 WIB
Ilustrasi/ANTARA FOTO/Rony Muharrman
Ilustrasi/ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Berbeda dengan bencana alam lain seperti letusan gunung api atau gempa tektonik bawah laut yang menyebabkan tsunami, maka musibah kebakaran hutan dan kabut asap seharusnya lebih mudah diantisipasi dan ditangani. Pasalnya, bencana alam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta kabut asap adalah 'musibah terjadwal' yakni hanya terjadi pada musim kemarau.

Jika menengok ke belakang, bencana kebakaran hutan diikuti bencana kabut asap di Indonesia berulang kali terjadi. Salah satu terparah misalnya pada 1982, 1992, 1998, dan sejak 2000-an hampir rutin setiap tahun.

Penjelasan beberapa pengamat lingkungan, adanya fenomena siklus kemarau panjang sehingga rawan terjadi karhutla. Bahkan, bukan lagi lima atau sepuluh tahunan, tetapi nyaris setiap tahun. Apakah siklus kian cepat tersebut dampak pemanasan global atau kian terbuka hutan, belum ada kajian tentang hal itu.

Tidak perlu jauh ke belakang, jika membuka data, Indonesia pada 2014 dan 2015 juga kerepotan mengatasi bencana karhutla. Tepat September 2015, 'bencana alam terjadwal' kabut asap menimbulkan dampak ekonomi merugikan lebih dari Rp20 triliun.

-
Ilustrasi/ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Saat itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan kerugian akibat kabut asap 2014 -tiga bulan dari Februari sampai April- hanya dari Provinsi Riau Rp20 triliun. Sedangkan pada 2015 kerugian lebih dari Rp20 triliun karena kejadian di beberapa provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Sementara tahun 2019, terlihat cakupan lebih luas karena untuk Kalimantan hampir semua provinsi di Indonesia 'membara', meski ada provinsi yang terdeteksi puluhan hot spot (titik panas), namun hanya ada beberapa hot spot.

Perhitungan ekonomi tersebut berdasar pada angka produk domestik regional bruto (PDRB) bulanan masing-masing provinsi. Kemudian membandingkan jumlah regulernya dengan pemasukan provinsi pada bulan-bulan terjadi kabut asap. Pembatalan penerbangan, termasuk pelayaran menjadi faktor utama yang menghantam roda perekonomian yang dirasakan langsung rakyat.

Belum lagi kerugian lain, misalnya dampak bagi kesehatan, serta kerugian lingkungan akibat kerusakan ekosistem hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Bagi hutan sekunder, butuh 50 tahun memulihkan kondisinya akibat Karhutla, namun bagi hutan primer butuh 100 tahun serta belum tentu sama dengan kondisi awal.

Ketahanan Hutan

-
Ilustrasi/ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

Pertengahan September 2019, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan ada 12 titik panas di Kalimantan Utara (Kaltara). Titik panas terbanyak di Kalteng, Kalsel, Kalbar dan sebagian di Ibu Kota Negara (IKN) baru Kaltim masing-masing puluhan titik panas.

Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Agus Wibowo dalam rilis 16 Agustus 2019 menyebutkan bahwa Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai titik api terbanyak. Hal itu merujuk pada hasil analisis data titik api menggunakan situs fires.globalforestwatch.org

Data tersebut mencatat jumlah titik api seluruh Indonesia dari 1 Agustus sampai 14 September 2019 adalah 151.862 titik, terbanyak di Kalteng. Pertanyaannya, mengapa provinsi lain di Kalimantan membara dan menimbulkan bencana kabut asap, maka jarak pandang di Kaltara lebih dari 3 Km (masih rekomendasi untuk keselamatan penerbangan).

Jawaban logisnya, hutan heart of borneo (Kalimantan bagian utara, Malaysia dan Brunei) masih lumayan bagus, tidak separah provinsi lain. Hutan atau pepohonan yang lebat menyerap efektif polutan yang menyebabkan polusi udara. Sebaliknya hutan yang sudah terbuka sudah tidak memiliki ketahanan terhadap ancaman kebakaran, akibat lantai hutan tidak lembab lagi.

-
Ilustrasi/ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Lantai hutan yang terbuka ibarat sekam menanti pemetik api saat kemarau. Guna menjaga ketahanan hutan terhadap api maka moratorium izin sawit harus terus dilanjutkan dibarengi dengan program reboisasi (penghijauan), rehabilitasi (menanam kembali) dan reklamasi (menutup bekas galian tambang).

Harus Miliki Peta Jalan

Pengamat kehutanan sekaligus Ketua Yayasan Pionir Bulungan Syamsu menyatakan bahwa pencegahan kebakaran hutan semestinya bisa dilakukan dengan memutus atau menghentikan tindakan pelaku pemicu terjadinya api. Selain itu, mengurangi atau membatasi tersedianya bahan bakar potensial. Itu penting dilakukan, mengingat pemicu api karena tiga faktor, yakni tersedianya bahan bakar potensial, tersedianya oksigen, dan tersedia pemetik api.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X