Duh, Pengamat Kesehatan Sebut Rapid Test Antibodi Tidak Efektif

- Jumat, 10 Juli 2020 | 17:31 WIB
Petugas medis mengambil sampel darah jurnalis saat Rapid Test Covid-19 secara Drive-Thru di Halaman Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (8/4/2020). (INDOZONE/Febio Hernanto)
Petugas medis mengambil sampel darah jurnalis saat Rapid Test Covid-19 secara Drive-Thru di Halaman Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (8/4/2020). (INDOZONE/Febio Hernanto)

Masyarakat Indonesia baru saja menghirup napas lega setelah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan surat edaran tentang standarisasi biaya untuk tes cepat (rapid test) antibodi, yang dipatok seragam senilai Rp150 ribu untuk sekali tes. 

Surat Edaran tersebut sekaligus menertibkan oknum-oknum yang berusaha mengeruk keuntungan dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelaksanaan rapid test antibodi sebelum melaksanakan perjalanan menggunakan pesawat atau transportasi umum lainnya. 

Di sisi lain, Kemenko PMK juga baru saja memperkenalkan alat untuk melaksanakan rapid test buatan dalam negeri yang dirancang oleh BPPT. Hal itu menumbuhkan sebuah harapan bahwa biaya pelaksanaan rapid test bisa ditekan lebih murah lagi, karena alat yang dibutuhkan tak perlu didatangkan jauh dari luar negeri. 

Namun demikian, kedua hal yang seharusnya menggembirakan itu, ternyata dipandang dari sudut lain oleh Pengamat Kesehatan Masyarakat, Hasbullah Thabrany. Kepada Indozone, ia mengungkapkan bahwasanya rapid test antibodi sebenarnya tidak efektif untuk mencegah penyebaran virus Corona, khususnya mencegah penyebaran virus mematikan tersebut dalam kaitannya dengan penyebaran melalui transportasi umum.

"Ini adalah kewajiban pemerintah agar tes yang dilakukan itu efektif. Tapi kalau test-nya antibodi (rapid test antibodi), saya kurang setuju kalau dijadikan sebagai patokan. Karena test antibodi itu perlu waktu semingguan baru ada hasil. Sementara selama belum ada hasil antibodi di dalam badan, orang itu sudah menularkan," ujar Hasbullah saat dihubungi Indozone, Jumat (10/7/2020). 

Pemerintah, kata Hasbullah, seharusnya fokus pada pelaksanaan tes kesehatan dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR) yang hasilnya jauh lebih akurat, agar proses penyebaran virus corona bisa dicegah. 

"Karena kalau test yang dilakukan adalah test antibodi yang perlu waktu seminggu baru ada hasil, itu akan membuat kita banyak kecolongan. Jadi harusnya test yang digunakan adalah test PCR, tapi hasilnya harus cepat. Karena sebenarnya test PCR itu cuma perlu waktu beberapa jam saja untuk tahu hasilnya," ujar Hasbullah. 

Adapun terkait harga peralatan dan pelaksanaan test PCR yang harganya jauh lebih mahal, Hasbullah berpendapat, disitulah sebenarnya peran pemerintah sangat dibutuhkan. Menurutnya, beberapa lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri, telah mampu memproduksi peralatan untuk PCR test. Hanya saja, kendalanya masih klasik, yakni ketersediaan anggaran untuk pengembangan dan produksi massal. 

"Harga dan kualitas, karena ini bagian yang menjadi persyaratan untuk terbang agar masyarakat bisa bepergian dan pemerintah tidak menanggung (biaya test), maka standar harganya harus ditetapkan dan berapa lama hasilnya. Jangan kemudian nanti ada pihak yang mengkomersilkan," tuturnya. 

"Disinilah peran pemerintah, memberi jaminan test yang efektif dan harganya semurah mungkin, kalau perlu disubsidi. Supaya kita mendapatkan hasil yang baik dan efisien, tapi tidak memberatkan," sambungnya. 

Sebagai informasi saja, sejauh ini pemerintah sudah memiliki tiga jenis metode pemeriksaan untuk mendeteksi penderita virus Corona. Ketiga metode itu yakni tes cepat molekuler (TCM), polymerase chain reaction (PCR), dan Rapid Test.


Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Rekomendasi

Terkini

X