Bukan Monopoli BUMN, Faktor Ini yang Buat Swasta Tak Dapat Proyek

- Jumat, 15 November 2019 | 11:13 WIB
Ilustrasi proyek (Pexels/Pixabay)
Ilustrasi proyek (Pexels/Pixabay)

Pengusaha swasta kecewa lantaran tidak banyak dilibatkan dalam proyek infrastruktur pemerintah pada periode 2014-2019. Mereka menuding, proyek-proyek infrastruktur prioritas tersebut hanya 'disikat' oleh perusahaan BUMN saja. 

Padahal, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono telah mengeluarkan aturan bahwa proyek-proyek yang nilainya dibawah Rp100 miliar, tidak boleh digarap oleh BUMN. Kemudian, perusahaan BUMN yang menggarap proyek besar, diwajibkan untuk melibatkan sektor swasta demi pemerataan. 

Menanggapi hal itu, Direktur Peneliti Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menyatakan tidak sependapat dengan tudingan pengusaha. Menurutnya, sistem lelang digital yang dilakukan pemerintah sudah baik dan mampu mengakomodir siapapun yang ikut lelang. 

Namun demikian, Piter menyoroti permasalahan lain yang membuat sektor swasta tidak berdaya menghadapi proyek-proyek besar. Masalah itu adalah akses pembiayaan. Menurutnya, tingkat kepercayaan perbankan terhadap BUMN jauh lebih baik ketimbang swasta yang tidak dijamin oleh negara. Hal itulah yang menurutnya jadi masalah dasar bahwa swasta tidak bisa masuk ke proyek besar. 

"Ada kendala pembiayaan. Pemnbangunan kan membutuhkan pembiayaan sangat besar. Persoalan swasta dan badan usaha lebih gara-gara gak punya uang," ujar Piter kepada Indozone, Jumat (15/11). 

Menurut Piter, likuiditas yang ketat bisa dilihat dengan dana masyarakat yang banyak terserap dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan dari pemerintah melalui Surat Berharga Negara (SBN). 

Mengutip dari data Bank Dunia, disebutkan ketatnya likuditas di Indonesia mengakibatkan rasio jumlah uang terhadap ukuran ekonomi (M2/GDP) selama 2014-2019 mencapai kisaran 39-40 persen. Padahal, angka minimal likuiditas adalah 100 persen.

"Ini menunjukan kita sangat kurang likuditas pada 2014-2018. China saja bisa 200 persen. jepang 250 persen pada 2017-2018, Thailand 125 persen pada 2014-2018. Ini oli perekonomian, kalau kurang keset, gak bisa berputar lancar," tuturnya. 

Likuiditas yang ketat itu kemudian menyebabkan tingkat suku bunga menjadi mahal dan cenderung kaku meskipun Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan. 

"Ini hukum permintaan dan penawaran, begitu likuiditas ketat, langka maka suku bunga mahal. Swasta mau investasi tapi tidak mampu," pungkasnya. 

(SN)

Artikel Menarik Lainnya: 

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X