Usai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemerintah Indonesia kini akan menerapkan kebijakan 'new normal' di tengah pandemi Covid-19.
Kebijakan itu menuai pro dan kontra di masyarakat, utamanya karena pandemi belum berakhir dan vaksin yang benar-benar teruji masih belum ditemukan.
Apalagi, grafik kasus positif Covid-19 di Indonesia saat ini masih belum bisa dibilang melandai. Bahkan grafiknya terus melonjak. Indonesia masih berada di urutan 32 dalam daftar negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak. Jumlah kasus terbarunya bahkan mencapai 678 orang, sehingga total kasus positif menjadi 17.204.
Menanggapi situasi itu, baru-baru ini Profesor Hermanto J Siregar, dosen Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor, memberikan penjelasan sederhana melalui video.
Video itu diunggahnya di media sosial dan viral. Dalam video itu Profesor Hermanto menjelaskan perihal mekanisme new normal melalui grafik berbentuk kurva.
Pertama-tama ia membuat garis sumbu datar (horizontal) sebagai penanda waktu. Lalu, di tengah garis horizontal itu, ia membuat sumbu tegak (vertikal) sebagai penanda jumlah kasus Covid-19.
"Sebelum ada kasus Covid-19, kita berada di posisi normal (menunjuk garis horizontal di belakang sumbu tegak), karena tidak ada yang terkena Covid. Kemudian ketika Covid masuk ke Indonesia, kurvanya naik secara eksponensial, termasuk saat ini, sampai suatu saat dia akan melambat deltanya, lalu dia menurun," jelas Hermanto.
Jika dibandingkan dengan Australia, misalnya, Indonesia masih kalah jauh dalam hal penurunan jumlah kasus positif, sebagai barometer layak tidaknya new normal diterapkan. Jumlah kasus baru di Autralia hanya 23 orang, dan secara keseluruhan hanya 488 orang.
"Kalau kurvanya sudah menurun, pertambahannya makin kecil, melandai, tapi tidak sampai ke sumbu horizontal, inilah yang disebut new normal. Di sini ada yang kena, tapi jumlahlahnya tertentu. Makanya disebut new normal," kata Hermanto.
Dengan demikian, menurut Hermanto, Indonesia secara teknis saat ini belum layak menerapkan new normal. Ini sekaligus peringatan kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia akan terjadinya blunder di kemudian hari.
"Posisi kita saat ini kira-kira masih berada di sini (menunjuk titik kurva sebelum puncak). Jadi kalau dikatakan kita sudah new normal, belum pas," jelas Hermanto.
Menjelaskan “new normal” secara ringkas ???? pic.twitter.com/jrjbvbPInC
— Hermanto J. Siregar (@hermantoregar) May 26, 2020