Mengejutkan, Mantan Penasihat KPK: Ada Kaitan Ahok Kalah Pilgub dengan 6 Laskar Ditembak

- Rabu, 14 April 2021 | 20:11 WIB
Kiri: 6 anggota Laskar FPI; kanan: Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).
Kiri: 6 anggota Laskar FPI; kanan: Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).

Penembakan mati 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan oleh polisi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada 7 Desember 2020 lalu, hingga kini masih terus diselidiki.

Sejumlah pihak meyakini bahwa ada motif politik tertentu di balik peristiwa yang dianggap sebagai unlawful killing tersebut.

Salah satunya adalah Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Laskar FPI, Abdullah Hehamahua.

Menurut Abdullah, secara garis besar, kasus penembakan mati 6 anggota laskar FPI tersebut bersifat politis, dan bukan kriminal murni. Ia mengaitkan kasus tersebut dengan kepulangan Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi.

Menurut pengakuannya saat bertemu dengan HRS di Mekkah, Arab Saudi pada tahun 2019, saat itu pemerintah Indonesia tengah melarang HRS keluar dari Arab.

"Kenapa tiba-tiba di tahun 2020 pemerintah begitu welcome terhadap Habib Rizieq? Ini kan jadi pertanyaan," katanya.

Bukti bahwa kasus tersebut politis, kata mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, dapat dilihat dari rangkaian kegiatan FPI dan Rizieq semenjak pulang dari Arab. Bahkan ia yakin, benang merah kasus penembakan tersebut dapat ditarik hingga ke soal kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI 2017.

"Nikahan itu aparat pemerintah tahu, intel tahu, kenapa tidak diantisipasi? Ini kan semacam dijebak. Lalu terjadi kasus pelanggaran prokes. Bayar cash Rp50 juta. Ini soal politik, karena 2017, dalam teori politik apapun, Ahok harus menang jadi gubernur," kata Abdullah.

Pelanggaran HAM Berat

Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa kasus tersebut termasuk pelanggaran HAM berat. 

Menurut pengakuannya, 6 anggota laskar FPI tersebut mengalami luka yang tidak mungkin dilakukan polisi di dalam mobil.

"Saksi (mengatakan), ketika jenazah dimandikan, rata-rata ada dua peluru, sebelah kiri jantung, kemaluan dianiaya siksa, bagian belakang luka bekas, dan bagian depan luka bakar. Kalau Komnas HAM mengatakan di dalam mobil, bagaimana menganiaya di dalam mobil?" katanya.

Abdullah menyebut, polisi sendiri tanpa sadar telah mengakui bahwa anggotanya memang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut terlihat di dalam berkas tuntutan pihak kepolisian.

"Dalam tuntuan kepolisian menyatakan Pasal 338 (pembunuhan) dan 351 (penganiayaan yang mengakibatkan kematian), berarti secara tanpa sadar polisi mengakui ada pelanggaran HAM berat karena ada penganiayaan," katanya.

Sebelum menyampaikan itu semua, Abdullah terlebih dahulu mengecam tindakan penembakan mati 6 anggota Laskar FPI tersebut. 

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X