RKUHP Terkait Penghinaan Dianggap Mengancam Kebebasan Pers

- Jumat, 24 April 2020 | 15:14 WIB
Wahyu Dhyatmika (Melela.org)
Wahyu Dhyatmika (Melela.org)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terkait pasal penghinaan masih menjadi sorotan berbagai pihak. Sebab, jika RKUHP pasal tersebut disahkan, jurnalis dianggap akan kehilangan kebebasan berpendapat yang selama ini dirasakan.

"Jadi pasal-pasal rancangan KUHP membuka ruang-ruang membatasi kebebasan pers yang kita punya," kata Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, Wahyu Dhyatmika dalam diskusi melalui aplikasi Zoom di Jakarta, Jumat (24/4/2020).

Wahyu menyampaikan hal itu sebagai pembicara di acara diskusi yang digelar oleh Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk). Wahyu menyoroti beberapa pasal yang ada dalam rancangan KUHP tersebut.

Pasal yang disorot yakni berkaitan dengan pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden dan pemerintah, pasal hasutan melawan penguasa, pasal penyiaran berita bohong hingga pasal tentang berita tidak pasti. Pasal-pasal itu jika disahkan dapat berdampak buruk kepada jurnalis.

"Jadi pasal-pasal rancangan KUHP membuka ruang-ruang membatasi kebebasan pers yang kita punya. Muncul kembali pasal penghinaan ke presiden, pejabat negara, pencemaran nama baik, ini potensial membuat kita mundur lagi ke era sebelum 1998 ketika kita mulai menikmati kembali kebebasan pers," ungkap Wahyu.

Lebih jauh Wahyu mengatakan saat ini sudah ada Dewan Pers yang menampung keluhan-keluhan dari berbagai pihak terkait mengenai pemberitaan media massa. Masyarakat maupun pihak terkait bisa membuat aduan ke Dewan Pers jika merasa ada pemberitaan yang merugikannya.

"Kita bisa manfaatkan mekanisme di Dewan Pers jika ada pemberitaan melanggar kode etik. Yang saat ini jarang terjadi adalah pengaduan ke Dewan Pers. Sering kali pelanggaran itu berhenti di diskusi di media sosial, diangkat jadi topik ke Twitter atau Facebook tapi nggak pernah diadukan resmi ke Dewan Pers," papar Wahyu.

Wahyu menilai seharusnya masyarakat mengadukan hal-hal berkaitan dengan media massa ke Dewan Pers. Jika media tersebut salah, maka Dewan Pers yang berwenang menegur bahkan menghukum media tersebut.

"Itu penting kalau diadukan ke Dewan Pers, jadi Dewan Pers bisa menegur media yang bersangkutan," kata Wahyu.

Lebih jauh Wahyu mengatakan sebetulnya saat ini jurnalis maupun media massa tidak membutuhkan RKUHP terkait hal tersebut. Sebab pemberitaan media massa sudah diatur dalam Dewan Pers dan sudah mempunyai kode etiknya tersendiri.

"Sebetulnya pers sudah punya kode etik jurnalistik yang diatur dalam UU Pers. Disitu jelas sekali bahwa ada ketentuan-ketentuan yang clear, tegas bagaimana seharusnya pers beritakan isu-isu," kata Wahyu.

"Bahkan kalau kita lihat pasal bahwa pers wajib melindungi privasi, pers juga disebut di Pasal 4 nggak beritakan hal-hal cabul, Pasal 5 nggak boleh umbar identitas kejahatan korban seksual, Pasal 8 nggak boleh diskriminasi, Pasal 9 harus menghormati hal pribadi, privasi narasumber. Jadi dari 5 Pasal itu saja sudah sangat clear idealnya media itu nggak mengumbar hal-hal berbau sensual," pungkasnya.

Artikel menarik lainnya

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran Toko di Mampang Semalam, 7 Orang Tewas

Jumat, 19 April 2024 | 14:25 WIB
X