Pengamat: Bisnis 'Bakar Uang' Ala OVO Tidak Sehat Dan Hanya Temporer

- Jumat, 29 November 2019 | 16:52 WIB
Ilustrasi transaksi uang (Pexels/energepic.com)
Ilustrasi transaksi uang (Pexels/energepic.com)

Bisnis 'bakar-bakar' uang ala OVO dianggap tidak sehat dan hanya bersifat sementara atau temporary. Langkah Lippo Group yang melepas 70 persen saham OVO dianggap merupakan keputusan yang baik. 

Peneliti Ekonomi Digital dari Institut Development for Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, persaingan bisnis pembayaran digital di Indonesia seperti halnya OVO dan Gopay itu dianggap sudah tidak sehat dan sangat berisiko menimbulkan bubble ekonomi atau kesulitan likuiditas startup

Jadi harus disuntik terus untuk bertahan dan membakar uang. Ini terus berlanjut dan menimbulkan persaingan tidak sehat. 

"Ini yang disebut race to the bottom, atau berkejaran tapi bukan keatas, tapi malah ke bawah, bakar uang. Jadi yang paling banyak bakar uang yang menang. Ini tidak sehat," ujar Bhima kepada Indozone, Jumat (29/11). 

Situasi bisnis seperti ini, lanjut Bhima, sangat berisiko menimbulkan masalah dikemudian hari. Di sisi lain, startup baru yang ingin muncul ke permukaan akan menjadi sangat sulit karena harus berhadapan dengan pemain besar yang sudah ada dan memiliki modal besar untuk terus membakar uang. 

Pertanyaannya, yang kita lihat di dunia digital ini, namanya bakar uang tidak ada loyalitas konsumen. Jadi sekali dia berhenti bakar uang, konsumen akan pindah ke startup lainnya. 

"Jadi percuma dia mau lomba bakar uang, yang menang tentu yang paling banyak bakar uangnya. Ini gak sehat, persaingan usaha juga gak sehat," tuturnya. 

Disisi lain, Bhima menyebutkan bahwa langkah Lippo Group melepas kepemilikan saham OVO bisa juga disebabkan bisnis utama perseroan memang sedang menurun. Sehingga Lippo group harus berfikir dua kali jika terus-terusan melakukan aksi bakar uang. 

Perusahaan Lippo tidak hanya bermain di digital, tetapi juga di properti. Untuk properti saat ini pasarnya sedang lesu.

"kalau kita melihat data-data pertumbuhan kredit KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KPA (Kredit Pemilikan Apartemen) juga rendah. Artinya si induk korporasinya sendiri memang menghadapi banyak tantangan," tuturnya. 

Belum lagi tahun depan ada isu resesi global yang pastinya akan berpengaruh ke penjualan. 

"Mereka pasti melakukan evaluasi terhadap kinerja unit-unit kerjanya. Bahkan ada Mall juga yang sepi, ritel turun," imbuhnya. 

Artikel Menarik Lainnya: 

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X