Rakyat Bougainville sudah memberikan suara dalam referendum. Hasilnya, hampir 98 persen dari 181.067 suara mendukung kemerdekaan. Hanya 3.043 pemilih mendukung opsi otonomi yang lebih besar dalam jajak pendapat tersebut.
Referendum ini, bagian kesepakan perdamaian setelah satu dekade perang antara pemberontak Bougainville dan Papua Nugini, yang berakhir 1998 sejak 1988.
Perang tersebut, menyebabkan 20 ribu orang tewas atau sekitar 10 persen dari populasi dari Bougainville.
Konflik antara gerakan separatis Bougainville dan pemerintah pusat di Port Moresby, sebagian besar disebabkan oleh perselisihan tentang pembagian pendapatan dari tambang tembaga Panguna.
Dilansir dari laman abc Kamis (12/12), Tambang Panguna pernah menyumbang 45 persen dari seluruh pendapatan ekspor Papua Nugini. Tambang itu kini diperkirakan masih memiliki cadangan tembaga dan emas dengan nilai miliaran dolar.
Sumber daya alam ini yang jadi pemicu perang saudara di pulau itu, karena rakyat Bougainville merasa keuntungan penambangan di wilayahnya, tidak dibagi secara adil antara Papua Nugini dan Bougainville, atau bahkan antara kelompok pemilik tanah yang berbeda di lokasi tambang.
Calon negara anyar ini, berjarak sekitar 1.000 kilometer di barat Port Moresby. Dari tahun 1880-an hingga Perang Dunia I, Bougainville adalah bagian dari daerah penjajahan Jerman.
Setelah perang, Australia menduduki pulau itu. Pada tahun 1975 Bougainville diserahkan kepada Papua Nugini. Namun, banyak warganya yang ingin membentuk negara merdeka dan melakukan perlawanan bersenjata.
Namun, proses kemerdekaan negara pulau yang berbatasan dengan Australia dan Solomon, harus menunggu persetujuan Parlemen Papua Nugini walaupun mayoritas warga sudah memenangkan referendum merdeka, sebelum akhirnya bisa mengurus wilayahnya secara berdaulat.