Sejarah G30S: Bung Karno Pernah Marah Besar Soal Fitnah Penyiksaan 6 Jenderal

- Senin, 28 September 2020 | 21:17 WIB
Bung Karno (kiri), bendera PKI (tengah), dan Soeharto (kanan). (Ist)
Bung Karno (kiri), bendera PKI (tengah), dan Soeharto (kanan). (Ist)

Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama dibubarkan. Namun sampai sekarang, nama PKI terus didengung-dengungkan, dengan segala cap buruk yang dilekatkan padanya: kejam, biadab, dan tak bertuhan.

Mundur ke tahun 1965, tepatnya pada 30 September, meledak sebuah kudeta politik yang kemudian disebut dengan istilah Gerakan 30 September, atau yang lebih dikenal dengan G30S/PKI.

Masa itu, setidaknya enam jenderal diculik dan dibunuh oleh orang-orang yang disebut-sebut anggota PKI. Mayat para jenderal itu kemudian dicampakkan ke sebuah sumur tua di wilayah Kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Namun, nama PKI--dan komunisme--mungkin tak akan dicap buruk di Indonesia (hingga saat ini) andaikan Soeharto tidak membuat propaganda yang memanas-manasi, dengan menciptakan fitnah bahwa para jenderal itu disiksa terlebih dahulu sebelum dibunuh. Fitnah itu menyatakan bahwa enam jenderal itu dicongkel matanya dan kemaluannya diiris-iris dengan pisau silet sebelum dibunuh.

Sosok yang paling marah atas fitnah itu adalah Bung Karno, Presiden pertama RI. Apalagi, Soekarno merujuk hasil visum et repertum enam jenderal yang tewas itu, yang keluar pada 6 Oktober 1965, yang menyatakan bahwa tidak ada kemaluan korban yang dimutilasi atau mata yang dicongkel.

"Betapa marah dan gemasnya Bung Karno menangkis fitnah tersebut, sehingga dia menggunakan kata-kata yang tak senonoh, yang tak pernah dia ucapkan seumur hidupnya," tulis Martin Aleida, seorang eks tahanan politik (ekstapol) 1965 dalam memoarnya yang berjudul 'Romantisme Tahun Kekerasan' (Somalaing Art, 2020).

Martin menulis bahwa tidak benar para jenderal disiksa (mata dicongkel dan kemaluan diiris pakai silet) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua di wilayah Lubang Buaya di Jakarta Timur. 

"Mata mereka dicongkel. Kemaluan mereka diiris menggunakan silet. Kebohongan yang memanas-manasi, untuk membakar kebencian itu disebarkan melalui media yang di bawah kontrol angkatan darat...," tulis pria asal Tanjungbalai Asahan itu pada halaman 10 bukunya.

Menurut Martin, yang harus bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain sebelum akhirnya tertangkap di Jakarta, suasana pascagerakan 30 September 1965 kala itu begitu mencekam. Bukan hanya orang-orang yang terlibat langsung dalam gerakan itu saja yang diburu, tetapi juga semua orang yang berafiliasi dengan PKI atau berideologi kiri, termasuk para petani yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia.

Salah satu pembantaian petani yang ia ketahui, terjadi di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, para petani itu dibantai usai ditunjuk oleh pastur saat tengah beribadah di gereja.

"Di Flores, saat umat sudah memenuhi gereja, dengan mengabaikan bisikan kasih sayang dari Roh Kudus, di otak dan hatinya, seorang pastur menunjuk satu per satu, siapa di antara umatnya, yang duduk dengan setia itu, yang menjadi simpatisan Barisan Tani Indonesia, organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang telah memperjuangkan tanah bagi mereka yang tak bertanah," tulis Martin pada halaman 18.

Padahal, petani-petani itu sama sekali tak tahu menahu apa yang terjadi di Jakarta ketika para jenderal dibunuh di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

"...ujung jari pastur itu berubah tidak menjadi tautan doa, tetapi perintah pembinasaan yang dikutuk Bapa di surga. Korban adalah mereka yang tak berdaya, tak punya kesempatan untuk membela diri terhadap tuduhan terlibat dalam pembunuhan para jenderal nun jauh di seberang laut, di Jakarta," lanjut Martin pada halaman 19.

Peristiwa kelam yang pernah terjadi di Flores itu pun pernah dikutuk oleh mantan Gubernur NTT, Ben Mboi, dalam memoarnya yang berjudul "Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja' (Kepustakaan Populer Gramedia, 2011). 

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X