Pasal Penghinaan Presiden Dalam RUU KUHP Dipertanyakan Kembali

- Selasa, 3 September 2019 | 12:29 WIB
ilustrasi/selisip
ilustrasi/selisip

Sejumlah pihak mempertanyakan terkait dengan pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden yang tercantum dalam RUU KUHP pasal 219. Sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pasal serupa tidak sesuai dengan UUD 1945.

"Ini aneh, DPR menghidupkan lagi yang sudah dibatalkan MK. Yang krusial dari pasal ini bagaimana membedakan itu kritik dan penghinaan," ungkap Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Abdul Manan.

Abdul mengatakan bahwa pasal penghinaan ini pernah memakan korban pada tahun 2013, yaitu Rakyat Merdeka dimejahijaukan karena menulis berita berjudul "Mulut Mega Bau Solar", "Mega Lebih Kejam dari Sumanto", "Mega Lintah Darat" dan "Mega Sekelas Bupati".

-
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

 

Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman dijatuhi hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan karena terbukti melanggar Pasal 137 KUHP. Ia divonis telah melakukan pencemaran nama baik Megawati Sukarnoputri yang saat itu menjabat sebagai presiden Indonesia.

"Apakah pasal begitu yang mau dihidupkan lagi? Harusnya memberikan kesempatan untuk media melakukan kontrol sosial terhadap presiden dan wakil presiden," kata Manan.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin juga mempertanyakan apa maksud dari masuknya pasal yang sudah diputuskan melanggar konstitusi.

"Tentu saja dianggap oleh kami sebagai pembangkangan konstitusi. Lebih jauh, ya kan, untuk apa ada lembaga konstitusi kalau, misalkan, putusannya tidak dipatuhi?" ungkap Ade.

-
ilustrasi/nindyarizki

 

Menurutnya, pemerintah maupun legislatif seharusnya memberi contoh kepada publik untuk tidak membangkang terhadap keputusan MK. Apabila pemerintah dan DPR tetap mengesahkan KUHP dengan pasal-pasal yang ada dalam rancangan, pihaknya berencana melakukan beberapa tindakan.

"Entah itu secara konstitusional judicial review atau misalkan melakukan lobi-lobi lagi, meskipun kalau lobi-lobi sudah, kami ikut kirim pendapat hukum juga ke DPR, tetapi sampai saat ini belum dihiraukan," ucap Ade.

Selain itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beserta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terus mendesak pemerintah untuk mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan dalam RUU KUHP karena mengancam kebebasan pers.

Menurut Manan, pasal itu dapat mengancam jurnalis yang menulis berita tentang persidangan, misalnya dinilai tidak menghormati hakim atau mengkritik tugas hakim. Ia menilai bahwa banyak kritik terhadap perilaku hakim, dan tugas jurnalis adalah menulis soal peradilan termasuk track record hakim.

Pasal seperti ini menyediakan pasal pidana kepada wartawan yang memang seharusnya menulis hal yang kritis terhadap pengadilan termasuk mempertanyakan integritas hakim," ungkapnya.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X