Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah disampaikan pemerintah kepada DPR untuk dibahas lebih dalam, sebelum nantinya disahkan sebagai Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, dan dijadikan alat bagi pemerintah untuk mendongkrak investasi serta sarana untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
Ada bermacam aspek yang dibahas dalam RUU tersebut, salah satunya adalah terkait bisnis penerbangan atau aviasi di Indonesia.
Pengamat Aviasi, Gatot Raharjo mengatakan, dirinya telah melakukan kajian terkait pasal-pasal yang terdapat pada RUU Cipta Kerja tersebut, terutama yang berkaitan dengan bisnis aviasi. Secara garis besar, ada plus dan minus dari aturan tersebut yang berkaitan dengan bisnis penerbangan.
Dari sisi plus-nya, kata Gatot, setidaknya ada pasal 109, pasal 118 ayat 2, pasal 131-133 didalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sementara, untuk sisi yang meringankan dari persyaratan untuk perizinan mendirikan maskapai penerbangan baru di Indonesia.
"Pasal 109 terkait syarat perizinan mendirikan maskapai diserahkan pada pusat. Artinya Menteri tidak lagi mengurus perizinan pendirian maskapai. Kemudian Pasal 118 ayat 2 soal syarat jumlah pesawat tertentu untuk maskapai berjadwal dihapus, serta Pasal 131-133 tentang aturan kegiatan usaha penunjang angkutan udara yang dihapus," ujar Gatot kepada Indozone, saat dihubungi pada Selasa (12/2020).
"Ada kemudahan buat investasi di maskapai. Karena jumlah pesawat yang disyaratkan 5 pesawat milik + 5 pesawat sewa itu tidak disebutkan lagi. Mudah-mudahan dikurangi jumlahnya," imbuhnya.
Meski demikian, ada sisi negatif yang harus menjadi catatan tersendiri ketika kewenangan Menteri Perhubungan diambil alih oleh Pemerintah Pusat terkait perizinan maskapai penerbangan baru. Sebab, pemerintah pusat tentu tidak memiliki expert di sektor penerbangan, seperti layaknya di Ditjen Perhubungan Udara.
"Ini yang harus diawasi, karena pemerintah pusat kan tidak punya expert seperti di Ditjen Hubud Kementerian Perhubungan. Apa mereka akan rekrut orang lagi, atau mau koordinasi dengan Kemenhub atau gimana, itu yang belum jelas," ujarnya.
Sementara itu, terkait sanksi pencabutan rute hingga pembekuan maskapai yang kemudian didalam RUU Omnibus Law diarahkan menjadi sanksi administratif, hal itu juga menjadi catatan tersendiri, utamanya dalam memastikan operasional maskapai tetap menjunjung tinggi nilai keamanan dan keselamatan penerbangan.
"Soal kepemilikan itu juga harus dicermati lagi, soalnya dulu itu dibuat agar maskapai kuat modalnya. Jadi kalau ada bangkrut dan lainnya, kewajiban utangnya bisa diambil dari pesawat yang dimiliki itu," ungkapnya.
"Sebab kalau satu pesawat harganya Rp500 miliar sampai Rp1 triliun, kan kalau 5 pesawat milik, minimal mereka punya modal Rp2,5 triliun. Pemerintah harus memastikan maskapai modalnya kuat," pungkasnya.
Artikel Menarik Lainnya:
- Peneliti Formappi Ragukan Niat Pemerintah Terkait Omnibus Law
- Menristek Bambang Brodjonegoro: Analisis Data Akan Jadi Profesi Idaman
- Asal Tak Berlebihan, Kesehatan Jantung Bisa Dijaga Lewat Olahraga Ini