Kelapa Sawit, Kekayaan Indonesia yang Terus Dijegal Keberadaannya

- Kamis, 17 Oktober 2019 | 12:51 WIB
Instagram/@wibisono.ndj
Instagram/@wibisono.ndj

Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia dan sebagai penyumbang devisa terbesar Indonesia, kelapa sawit pantas disebut sebagai satu komoditas andalan Indonesia. Sayangnya, Industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia mengalami tekanan yang luar biasa dan dikepung berbagai isu negatif dalam beberapa tahun belakangan ini.

Kelapa sawit menjadi salah satu bahan baku utama biodiesel atau bahan bakar nabati yang dianggap sebagai menjadi salah satu alternatif energi baru pengganti dari bahan bakar fosil yang diperkirakan akan habis sekitar 70-80 tahun kedepan.

-
Ilustrasi bahan bakar Biodiesel - Reuters/Mike Blake

Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), tercatat setiap tahunnya Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sekitar 46 juta ton. Angka produksi ini pun selalu bertumbuh dari tahun ke tahun. Tercatat, ekspor minyak sawit mentah selama 2018 sebesar 34,71 juta ton, naik 8% dibandingkan 2017. Produk turunan CPO seperti refined CPO dan minyak laurat pun mengalami kenaikan signifikan sebesar 25,46 juta ton, atau naik dibandingkan sebelumnya 23,89 juta ton atau naik hingga 7%.

-
Siswa SD berjalan di samping tumpukan kelapa sawit di perkebunan kawasan Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Meskipun terus berkembang setiap tahunnya, industri kelapa sawit di Indonesia hingga saat ini masih terus menemui sejumlah tantangan dan jegalan yang harus dihadapi, seperti larangan dari Uni Eropa dan kampanye negatif dari serangkaian lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melancarkan serangan berupa kampanye antisawit di seluruh Benua Biru.

Salah satu upaya Uni Eropa untuk menjegal Indonesia adalah mengusulkan proposal bea masuk anti-subsidi (BMAS) sekitar 8%-18% untuk produk biodiesel dari Indonesia. Alasannya, minyak sawit yang menjadi campuran biodiesel Indonesia didapatkan dari cara-cara produksi yang tidak ramah lingkungan.

-
(Kolase)

Pada Maret 2019 yang lalu, Uni Eropa telah mengategorikan minyak sawit sebagai produk yang tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel (masuk kategori 'tidak berkelanjutan'). Indonesia juga dituding sebagai negara dengan tingkat deforestasi (hilangnya hutan akibat kegiatan manusia atau penebangan hutan) tertinggi untuk kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit. Faktanya, total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya sekitar 6,6% dari total lahan dunia.

Menanggapi isu jegalan tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Dirjen Kementan), Kasdi Subagyono mengatakan bahwa hal ini terjadi karena ada kepentingan persaingan dagang di baliknya, dan pelaku industri sawit di Indonesia diminta tidak perlu khawatir dengan banyaknya jegalan tersebut.

"Kita percaya Eropa enggak akan menolak semua, sebab industrinya pasti berhenti. Mereka sangat butuh CPO karena paling efisien. Larangan di Uni Eropa itu belum secara total, kita masih ada ekspor kesana, tapi memang tidak maksimal. Selain itu kita juga berupaya untuk mencari pasar ekspor yang lain, misalnya Argentina," kata Kasdi kepada Antara beberapa waktu lalu.

-
Direktur Jenderal Perkebunan, Kasdi Subagyono saat acara Silaturahmi dan Konsolidasi Percepatan Investasi Sektor Perkebunan di Jakarta, Kamis (19/9) - (Kementan)

Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Pradnyawati pun menyebut bahwa langkah 'jegalan' dari Uni Eropa tersebut didasari oleh kualitas minyak sawit Indonesia yang jauh lebih baik dan kompetitif dibandingkan minyak bunga matahari.

"Mereka tidak mau minyak nabati mereka yang dihasilkan di Eropa itu tersaingi minyak nabati dari Asia. Minyak sawit itu sangat efektif dari segala parameter, kita lebih kompetitif dibandingkan minyak bunga matahari, kedelai. Itu lah kenapa kita diserang," ujar Pradnyawati beberapa waktu lalu.

-
Minyak Kelapa Sawit Lebih Unggul Dibanding Minyak Bunga Matahari (Istimewa - Kolase)

Pemerintah pun menyadari 'jegalan' tersebut sebagai strategi yang terstruktur, sistematis dan masif oleh Uni Eropa dalam menolak produk CPO dari Indonesia. Pemerintah hingga saat ini pun konsisten berupaya memfasilitasi pengembangan industri sawit berkelanjutan, terutama pada pasar ekspor. Meskipun dilarang di Uni Eropa, pemerintah yakin bahwa industri di eropa masih akan sangat bergantung kepada sawit atau CPO Indonesia, lantaran lebih efisien dan efektif ketimbang minyak nabati yang lainnya.

Isu Negatif dan Kampanye Hitam LSM

Tak hanya parlemen Uni Eropa saja yang berusaha menjegal produk hasil kelapa sawit Indonesia melalui kampanye negatif. Sejumlah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) asing yang kian gencar menyuarakan penolakan terhadap produk sawit dan turunannya asal Indonesia.

Berbagai isu dihembuskan, mulai dari isu deforestasi, hingga isu pelanggaran HAM dan eksploitasi anak di industri kelapa sawit, diteriakkan LSM asing untuk mengganjal ekspor kelapa sawit dan produk turunannya asal Indonesia.

-
Demo Petani Sawit di Malaysia - (Express)

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, pergerakan yang dilakukan LSM-LSM asing dalam mengkampanyekan kelapa sawit dan CPO Indonesia disebut sudah berada dalam tahap yang menghawatirkan. Padahal, kata dia, isu utamanya adalah persaingan produk biofuel saja. 

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X