Kenaikan Iuran BPJS Dan Cukai Rokok Bisa Kacaukan Perekonomian

- Rabu, 30 Oktober 2019 | 14:16 WIB
Ekonom Senior sekaligus founder CORE Indonesia, Hendry Saparini di Jakarta, Rabu (30/10). (Dok.Indozone/Sigit Nugroho)
Ekonom Senior sekaligus founder CORE Indonesia, Hendry Saparini di Jakarta, Rabu (30/10). (Dok.Indozone/Sigit Nugroho)

Pemerintah dihimbau untuk berhati-hati dalam mengeksekusi kebijakan kenaikan iuran BPJS kesehatan dan kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi. Pasalnya, tanpa dua kebijakan itu saja, tantangan perekonomian 2020 sudah sangat berat. 

Ekonom senior dari Center Of Reform On Economics (CORE) Indonesia Hendry Saparini mengatakan, kenaikan tarif yang akan terjadi tahun 2020, termasuk juga pengurangan subsidi energi, sudah sangat jelas bakal mendongkrak laju inflasi. Padahal target pemerintah, inflasi tahun depan bisa berada dibawah 3,5 persen. 

"Sekarang ini kita tekankan terhadap inflasi, selain pada kelompok makanan, juga pada sektor energi, termasuk juga BPJS dan cukai rokok yang mau naik. Akan ada tekanan inflasi yang luar biasa lebih tinggi daripada tahun ini," kata Hendry di Jakarta, Rabu (30/10). 

Ia menyebut, keberhasilan pemerintah menjaga tingkat inflasi di tahun-tahun sebelumnya diperoleh dari komoditas pangan yang terjaga. 

Sementara itu, faktor-faktor pendorong inflasi diluar pangan selama ini tidak terlalu menjadi fokus pemerintah. Hal ini yang kemudian menurutnya harus diwaspadai karena pada saat yang bersamaan, tekanan ekonomi global juga sedang terjadi. 

"Jadi kalau kemudian dua-duanya kita hadapi tantangan yang lebih besar dan itu akan jadi kunci. Karena kuncinya bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tapi juga pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kelompok (penghasilan) bawah," jelasnya. 

Tekanan itu sendiri kata Hendry akan lebih terasa di masyarakat, ketika aturan kepesertaan dan kepatuhan pembayaran iuran BPJS dikaitkan juga dengan pengurusan perizinan lain-lain, seperti yang sempat diutarakan Pemerintah sebelumnya. 

"Kalau memang kemudian BPJS itu menjadi syarat yang lain-lain, maka ini sangat memberatkan. Kalau itu seperti sekarang itu optional, masyarakat akan menghindari. Tapi kalau BPJS itu jadi persyaratan perizinan yang lain-lain, maka itu mau tidak mau harus dikeluarkan dan ini dampaknya akan lebih luas," tuturnya. 

Untuk diketahui, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 yang mengatur Jaminan Kesehatan, telah diteken oleh Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019.

Dari beleid tersebut diketahui bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat dari besaran saat ini. 

Dalam Pasal 34 Perpres tersebut, disebutkan tarif iuran kelas Mandiri III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan tiap peserta. Kenaikannya Rp 16.500.

Selain itu iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan untuk tiap peserta.

Kemudian iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dua kali lipat dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan untuk tiap peserta. (SN)

Artikel Menarik Lainnya

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X