Atas Kekhilafan Hakim, Ini Alasan MA Kabulkan PK dan Potong Hukuman Anas Urbaningrum

- Kamis, 1 Oktober 2020 | 13:02 WIB
Terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Anas Urbaningrum. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
Terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Anas Urbaningrum. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Anas Urbaningrum. Hal tersebut didasari oleh kekhilafan dari Hakim Agung.

Dalam putusan itu, MA memotong hukuman mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat tersebut semula divonis hukuman 14 tahun penjara, namun kini dipotong menjadi 8 tahun penjara.

"Menurut Majelis Hakim Agung PK, alasan permohonan PK Pemohon/Terpidana yang didasarkan pada adanya "kekhilafan hakim" dapat dibenarkan," ucap Juru bicara MA Andi Samsan Nganro kepada Indozone, Kamis (1/10/2020).

Andi pun mengungkapkan beberapa pertimbangan yang membuat PK Anas Urbaningrum dikabulkan oleh MA. Pertama, judex juris atau putusan kasasi MA sebelumnya telah salah menyimpulkan alat-alat bukti yang kemudian dijadikan sebagai dasar hukum tentang tindak pidana yang terjadi dan dilakukan pemohon PK.

"Akibatnya, judex juris mengubah pasal dakwaan yang terbukti di tingkat judex facti (pengadilan tingkat pertama) dari Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjadi Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor," tulis bunyi surat putusan amar Anas.

Kedua, setelah majelis hakim PK mencermati alat-alat bukti baik dari keterangan saksi-saksi maupun alat bukti lainnya ternyata uang-uang maupun fasilitas lainnya yang diterima pemohon PK (Anas) baik melalui PT Adhi Karya maupun dari Permai Group adalah dana-dana yang dihimpun dari hasil perolehan keuntungan dari proyek barang dan jasa serta fee-fee dari perusahaan lain.

Ketiga, dana-dana tersebut kemudian dijadikan sebagai marketing fee di bagian perusahaan untuk melakukan lobi-lobi usaha agar mendapatkan proyek dari APBN. Dari bukti-bukti bon sementara yang diajukan sebagai bukti, terlihat uang yang dikeluarkan diberikan tanda-tanda/kode huruf untuk kepentingan siapa, siapa yang mengeluarkan, dan nanti uang tersebut akan digantikan dengan proyek yang nanti diperoleh.

"Kelima, dalam proses pencalonan ketua umum DPP Partai Demokrat, saksi-saksi yang hadir dalam penggalangan dukungan mengatakan bahwa pemohon PK (Anas) tidak berbicara mengenai teknis bagaimana uang didapat dalam rangka pendanaan pencalonan pemohon PK sebagai ketua umum. Pemohon PK, sebagaimana keterangan saksi-saksi bahwa pemohon PK hanya berbicara mengenai visi dan misi untuk ditawarkan dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung," lanjutnya.

Keenam, dari fakta-fakta hukum, uang-uang yang dikeluarkan untuk pendanaan pemohon PK sebagai ketua umum didapatkan sebagaimana telah diuraikan di atas juga karena penggalangan dari simpatisan atas dasar kedekatan dalam organisasi pemohon PK sebelumnya. Yang kebetulan orang-orang tersebut duduk dalam struktur organisasi perusahaan serta dari kader-kader Partai Demokrat pendukung pemohon PK yang mempunyai akses dalam perusahaan tersebut.

"Ketujuh, pemberian dana-dana dan fasilitas yang diberikan kepada pemohon PK melalui tim sukses pemohon PK dilakukan karena dengan membantu pemohon PK dalam Kongres Partai Demokrat diharapkan akan mempermudah perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapatkan proyek yang didanai pemerintah. Karena nantinya, apabila pemohon PK terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan Ketua Fraksi di DPR akan mempunyai kewenangan yang besar untuk mempengaruhi penataan anggaran-anggaran proyek pemerintah saat pembahasan di DPR," terang surat itu.

Kedelapan, dengan demikian apabila fakta-fakta hukum tersebut dihubungkan dengan dakwaan Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor yang diterapkan judex juris tidak tepat karena pemberian dana-dana maupun fasilitas tersebut dilakukan sebelum pemohon PK menduduki jabatan tersebut.

Kesembilan, karena tepat telah dipertimbangkan judex facti bahwa yang dilakukan oleh pemohon PK adalah sesuai dengan dakwaan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor yaitu penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.

Kesepuluh, di samping itu terkait penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik judex juris telah menunjukkan kekeliruan yang nyata. Oleh karena penjatuhan pidana tambahan tersebut tanpa batasan waktu. Hal itu jelas tidak dapat dibenarkan. Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2018 bahwa penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik dibatasi oleh jangka waktu paling lama 5 tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pidana pokoknya.

"Kesebelas, oleh karena judex juris telah menunjukkan kekhilafan dan kekeliruan yang nyata oleh hakim dalam putusannya, maka harus dibatalkan. Kemudian majelis hakim PK mengadili kembali sebagaimana disebutkan dalam bagian amar putusan," tutupnya.

Halaman:

Editor: Edi Hidayat

Tags

Rekomendasi

Terkini

Polres Langkat Musnahkan Barbuk Ganja dan Sabu

Rabu, 17 April 2024 | 11:20 WIB
X