Studi: Konsumsi Pangan si Miskin Berkaitan dengan Tingginya Stunting

- Jumat, 28 Februari 2020 | 16:36 WIB
Ilustrasi sejumlah anak tengah menunggu giliran pembagian makanan. (CATHNEWS)
Ilustrasi sejumlah anak tengah menunggu giliran pembagian makanan. (CATHNEWS)

Indonesia dengan negara agraris serta beriklim tropis sangat membantu dalam potensi agraria dan termasuk komoditi pangan. Namun dari catatan Kementerian Pertanian (Kementan), terdapat 88 kabupaten atau kota di Indonesia rentan rawan pangan.

Daerah rentan rawan pangan ditentukan melalui tiga aspek meliputi ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Tiga aspek tersebut dapat berdampak pada kehidupan wilayah rawan pangan, ketersediaan pangan yang kurang sehingga menyebabkan kurangnya asupan gizi.

“IDEAS pada bulan Februari ini sudah melakukan penelitian terkait dengan ketimpangan masyarakat miskin dengan konsumsi pangan. Masyarakat miskin menghadapi harga pangan yang mahal. Strategi yang ditempuh keluarga miskin yaitu beralih untuk mengkonsumsi pangan yang murah dan bisa diawetkan. Kelompok 1% termiskin secara rata-rata mengkonsumsi 74.4 kg beras per kapita pertahun, lebih banyak dari kelompok 1% terkaya yang hanya 60,89 kg beras per kapita pertahun," ujar Peneliti IDEAS, Fajri Azhari dalam diskusi 'Kerawanan Pangan & Tantangan Stunting Anak Indonesia' yang diselenggarakan Dompet Dhuafa di Jakarta, Jumat (28/2/2020).

Tingkat konsumsi si miskin yang sangat rendah, dapat membawa pada penyakit kronis dan kematian dini.

Penyakit kronis memberi beban ekonomi yang berat dari biaya pengobatan dan hilangnya waktu produktif, dan mendorong si miskin lebih dalam ke lembah kemiskinan. Keluarga berpendapatan rendah dengan jumlah anggota keluarga lebih banyak, memiliki peluang lebih besar mengalami kemiskinan pangan.

“Pencegahan kerawanan pangan dan stunting yang terjadi kepada anak negeri, telah menggerak Dompet Dhuafa dengan berbagai program pertanian dan kesehatan seperti mengembangkan program pertanian sehat terpadu hingga mengimplementasikan program JKIA (Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak) dan SNGI (Saving Next Generation Institute) yang berbasis pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan kematian ibu dan anak, juga program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang mendorong perilaku bersih dan sehat di lingkungan sekitar dengan sumberdaya yang ada. Program tersebut, dilakukan bersama dengan komponen masyarakat, pemerintah daerah, dinas terkait dan mitra lain yang bekerjasama secara terintegrasi di lapangan," ujar Direktur Utama Dompet Dhuafa, drg. Imam Rulyawan, MARS.

Meski demikian, tantangan semakin berat dengan bertambahnya total penduduk di Indonesia. Hal ini menjadi tugas bersama antara lembaga kemanusiaan dengan pemerintahan dalam pengentasan kerawanan pangan dan stunting di sejumlah daerah.

"Masalah stunting merupakan masalah multidimensial, terdiri dari penyebab langsung seperti konsumsi makanan tidak beragam, penyakit infeksi, dan tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Penyebab tidak langsung berupa kerawanan pangan, pemantauan tumbuh kembang balita yang belum optimal serta akses sanitasi yang tidak layak. Sehingga membutuhkan peran aktif banyak pihak. Pemerintah sudah berkomitmen dan menetapkan arah perbaikan gizi nasional untuk meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat," ujar dr Hera Nurlita, Kasi Mutu Gizi Kementrian Kesehatan dalam diskusi tersebut.

Sementara itu, permasalahan pangan, gizi buruk dan stunting ini menjadi pekerjaan bersama dengan pemerintah daerah.

Sebagaimana diketahui, pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40 persen, dengan yang tertinggi adalah Kab. Nias (61,3 persen), Kab. Dogiyai (57,5 persen), Kab. Timor Tengah Utara (56,8 persen), Kab. Timor Tengah Selatan (56,0 persen), Kab. Waropen (52,6 persen) dan Kab. Pangkajene dan Kepulauan (50,5 persen).

Pada saat yang sama, 206 kabupaten-kota memiliki prevalensi stunting antara 30-40 persen. Dengan kata lain, 58 persen kabupaten-kota di seluruh Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang serius, lebih dari 30 persen. Hanya 34 kabupaten-kota yang pada 2018 tercatat memiliki prevalensi stunting dibawah 20 persen.

Direktur LKC NTT Dompet Dhuafa, drg Martina Tirta Sari mengatakan, pembelajaran dari program penanganan dan pencegahan masalah gizi di NTT ada pada peningkatan pengetahuan, pemberian ASI ekslusif, pola Asuh dan kasih sayang, kesadaran masyarakat serta peran berbagai pihak yang terkait, seperti keluarga, tokoh masyarakat, puskesmas, dinas kesehatan, dinas sosial, mitra kesusteran, Bapeda, dan elemen masyarakat lainnya.

Editor: Fahmy Fotaleno

Tags

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X