Jaksa Agung Beberkan Kendala Penanganan Kasus HAM Berat

- Kamis, 7 November 2019 | 17:30 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11). (Antara/Nova Wahyudi)
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11). (Antara/Nova Wahyudi)

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengklaim, salah satu kendala menangani pelanggaran HAM berat adalah belum adanya pengadilan HAM ad hoc untuk memutus kasus-kasus tersebut.

Menurut Burhanuddin, penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sifatnya pro yustisia, sehingga perlu izin dari Ketua Pengadilan. Lalu juga diperiksa serta diputus perkaranya oleh pengadilan ad hoc yang sampai saat ini belum terbentuk.

Kemudian, pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat juga harus tunduk pada KUHAP. Keterangan seorang saksi juga tidak dapat dijadikan alat bukti, kecuali didukung alat bukti lain seperti ahli forensik, uji balistik, dokumen terkait dan sebagainya.

"Sulitnya memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu karena tempus delicti (waktu tindak pidana) sudah lama, locus delicti (tempat tindak pidana) sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada," kata Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR, Kamis (7/11).

Burhanuddin mengusulkan opsi penanganan pelanggaran HAM berat di Indonesia untuk mencapai kepastian hukum. Maka, perlu ditinjau kembali regulasi ketentuan penyelesaian perkara, mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan instrumen HAM secara universal.

Dalam rapat tersebut, Burhanuddin memaparkan capaiannya yang telah menyelesaikan tiga kasus pelanggaran HAM berat.

"Ada 15 perkara pelanggaran ham berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ada tiga kasus yang sudah diselesaikan, yaitu kasus Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, dan Abepura 2000," tutur Burhanuddin.

Ada 12 perkara HAM yang belum diselesaikan, antara lain sebelum Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM) yang meliputi peristiwa 1965, penembakan misterius, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, serta penculikan dan penghilangan orang secara paksa.

Kemudian ada peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, pristiwa Rumoh Geudong 1989, peristiwa Dukun Santet, Ninja dan Orang Gila Banyuwangi 1998. Lalu setelah UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, peristiwa Wamena, peristiwa Jambu Kepuk, dan peristiwa Paniai 2014.

"Tahap penanganan perkara HAM yang telah dilakukan 12 perkara hasil penyelidikan Komnas HAM telah dipelajari dan diteliti. Hasilnya, baik persyaratan formil, materiil, belum memenuhi secara lengkap," ujar Burhanuddin.

Terkait peristiwa 1965, Semanggi I dan Semanggi II, Burhanuddin melanjutkan, telah ada hasil rapat paripurna DPR yang menyatakan kedua peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat. Lalu perkara Paniai 2014, masih berupa SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang belum ditindaklanjuti dengan hasil penyelidikan sampai saat ini.

"Sehingga, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat 1 ayat 2 UU Pengadilan HAM," tandasnya. (MA)

Artikel Menarik Lainnya

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

Berawal Saling Tatap, ODGJ Bacok Tetangga di Kepala

Selasa, 23 April 2024 | 19:30 WIB
X