Yusril dan LaNyalla Gugat Presidential Threshold ke MK untuk Dihapuskan

- Minggu, 27 Maret 2022 | 16:25 WIB
Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Dok. DPD RI)
Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Dok. DPD RI)

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti bersama dengan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, mengenai presidential threshold.

Selain keduanya, ada beberapa nama lainnya seperti Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Mahyudi, Sultan Baktiar Najamudin, yang ikut dalam pengajuan gugatan ihwal ambang batas pencalonan presiden ini.

"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," begitu bunyi petitum permohonan yang diajukan sebagai dilihat dari website MK, Minggu (27/3/2022).

Mereka menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Menurut Para Pemohon, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 memberikan hak konstitusional (constitutional right) kepada setiap partai politik peserta pemilihan umum untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, baik sendiri maupun bersama-sama dengan partai politik lain.

Lebih lanjut menurut pemohon, bahwa selama Pasal 222 UU Pemilu tetap terus berlaku dan mengikat, maka penghilangan hak konstitusional (constitutional right) bagi Pemohon II dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden akan terus berulang dalam setiap penyelenggaraan pemilihan presiden. Bahkan juga menghilangkan hak konstitusional partai politik lainnya.

"Apabila diletakkan dalam konteks Pemilu tahun 2024 mendatang, ketentuan presidential threshold dapat menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) Pemohon II dan partai politik nonparlemen serta partai politik baru lainnya seperti Partai Ummat, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Partai Gelora), Partai Buruh, dan partai lainnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," urai pemohon dalam gugatan.

Kekang Aspirasi Rakyat

Selain itu bahwa keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan ambang batas pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden sebesar 20% perolehan kursi di DPR RI atau 25% suara sah nasional, apalagi berdasarkan hasil pemilu sebelumnya, sama saja mengekang aspirasi rakyat untuk tidak berubah selama 5 tahun.

Baca juga: Dear Pengendara, Ngebut 120 Km di Jalan Tol Langsung Kena E-Tilang Mulai 1 April 2022

Karena pemohon memandang mana mungkin syarat pencalonan presiden tersusun dari hasil Pemilu 5 tahun sebelumnya. Tentu selama 5 tahun berjalannya pemerintah, terdapat perubahan aspirasi politik dari rakyat. Dan hal ini tidak terakomodir dengan hadirnya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu.

Mereka melihat bahwa Pasal 222 lebih condong ke status quo yang tidak demokratis ketimbang kepada arus perubahan yang reformis. Pasal 222 lebih menguntungkan parpol lama—terlebih dengan syarat hasil pemilu 5 tahun sebelumnya. Akibatnya, akan cenderung mempertahankan kekuasaan lama dan menutup peluang perubahan (reformasi). Padahal kekuasaan yang cenderung bertahan lama tetap akan cenderung koruptif, dan karenanya membutuhkan pembaharuan.

Karena itu, pasal 222 harus dihilangkan untuk membuka ruang lebih lebar bagi arus perubahan sesuai dengan dinamika dan aspirasi rakyat pemilih, yang lebih sesuai dengan esensi pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Hal ini sebagaimana diamanatkan pasal 6A UUD 1945, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

"Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali," kata pemohon dalam gugatan.

Selanjutnya, kata pemohon, dalam menentukan angka ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), pembentuk undang-undang lebih banyak mendasarkannya pada kepentingan politik (menghilangkan penantang dalam pemilihan presiden) dan tidak dilandasi atau berbasis pada kepentingan pemilih serta pembangunan demokrasi subtansial.

Karena secara faktual, mekanisme voting atau suara terbanyak dalam pengesahan UU Pemilu direspon oleh  fraksi partai politik dengan aksi walk out, yakni fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, fraksi Partai Keadilan Sejahtera, fraksi Partai Demokrat, dan fraksi Partai Amanat Nasional, yang menginginkan ambang batas pengajuan kandidat presiden menjadi 0 persen.

Halaman:

Editor: Gema Trisna Yudha

Tags

Rekomendasi

Terkini

X