Mya Thwate Thwate Khaing, pengunjuk rasa yang kepalanya tertembak peluru pasukan keamanan Myanmar, meninggal dunia pada Jumat dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Ibu Kota Naypyidaw.
Sebelumnya, ia sempat menjalani perawatan dengan dukungan alat penunjang hidup selama 10 hari sejak ia ditembak oleh polisi, yang menindak para pengunjuk rasa damai yang menentang kudeta militer Myanmar.
Kematian tersebut membuat beberapa negara mengecam tindakan brutal tersebut. Tak terkecuali Amerika Serikat yang "sangat prihatin" atas laporan tersebut. Hal itulah yang diungkapkan juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan dalam cuitan pada Sabtu (20/2/2021) seperti yang dikutip dari Reuters.
"Kami mendukung rakyat Burma," cuit Price.
Terhitung ada dua orang tewas di kota kedua Myanmar Mandalay pada Sabtu ketika polisi dan tentara menembak untuk membubarkan protes terhadap kudeta militer 1 Februari, hari paling berdarah dalam lebih dari dua minggu demonstrasi, kata pekerja darurat.
Baca Juga: Pindah Agama Demi Kekasih, Cewek Ini Malah Diputusi Pacarnya, Nyesek dan Menyesal
Pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer itu dikecam para pemimpin politik dunia, termasuk Paus Fransiskus dan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres.
Presiden AS Joe Biden menanggapi kudeta itu dengan mengatakan, tak diragukan lagi bahwa dalam demokrasi kekuatan militer tidak dapat membatalkan pemilihan umum.
Sebagai korban pertama dalam protes terbesar di Myanmar selama lebih dari satu dekade, kematian Mya Thwate Thwate Khaing telah memicu kemarahan di seluruh negeri dan meningkatkan gejolak atas penggulingan pemerintahan sipil pada 1 Februari lalu.
Mya Thwate Thwate Khaing, who was shot in the head as Myanmar police broke up a protest in Naypyitaw last week, died today. She had turned 20 on life support. Doctors said she was hit by a live bullet. #WhatsHappeninglnMyanmar https://t.co/WO4On2vUf5 pic.twitter.com/o8IZmwpuKt
— Matthew Tostevin (@TostevinM) February 19, 2021
"Saya merasa sangat sedih mengenang dia. Saya makin bertekad untuk turun ke jalan," kata Nay Lin Htet (24), seorang pengunjuk rasa di kota pusat perdagangan, Yangon.
"Saya merasa bangga padanya dan saya akan turun ke jalan sampai kita mencapai tujuan kita, demi dia. Saya tidak peduli dengan keamanan saya."
Banyak anggota gerakan anti kudeta yang selama dua minggu berdemonstrasi di seluruh Myanmar adalah dari Generasi Z , sama dengan Mya Thwate Thwate Khaing. Ketika ditembak, Mya adalah seorang pekerja toko bahan makanan yang masih remaja. Saat berada dalam perawatan intensif, ia berusia 20 tahun.