Pengamat: Pemerintah Harus Basmi Truk ODOL Secepatnya

- Kamis, 13 Februari 2020 | 13:34 WIB
Ilustrasi truk kelebihan kapasitas beban (ODOL). (PIXABAY/Joakant)
Ilustrasi truk kelebihan kapasitas beban (ODOL). (PIXABAY/Joakant)

Pemerintah diminta tidak menunda kebijakan tahun 2021 terkait bebas kendaraan Over Dimension Over Load (ODOL), demi peningkatan keamanan dan keselamatan di jalan raya. 

Hal itu disampaikan Pakar Transportasi Publik dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno kepada Indozone, saat dikonfirmasi mengenai penertiban ODOL yang akhir-akhir ini sering dilakukan Korlantas Polri, Dinas Perhubungan dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT). 

"Dampak ODOL terhadap infrastruktur dan lingkungan telah menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan, jembatan (runtuh atau putus) dan pelabuhan, penyebab kecelakaan lalu lintas, tingginya biaya perawatan infrastruktur, berpengaruh pada proyek KPBU infrastruktur jalan, mengurangi daya saing internasional, tidak dapat memenuhi AFTA (Asian Free and Trade Association), ketidakadilan dalam usaha pengangkutan barang, tingginya biaya operasional kendaraan, kerusakan komponen kendaraan, memperpendek umur kendaraan dan menimbulkan polusi udara yang berlebihan," ujar Djoko yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, di Jakarta, Kamis (13/2/2020). 

Djoko mengakui, pengetatan operasional ODOL nampaknya masih mendapat kendala dengan adanya penolakan dari Menteri Perindustrian. Padahal kesepakatan ini sudah ditandantangani oleh tiga instansi yang berkaitan langsung dengan aktivitas kendaraan barang ODOL yang sudah cukup lama direncanakan dan dikerjakan, yaitu Ditjen Hubdat Kemenhub, Korlantas Polri dan Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR, serta beberapa asosiasi serta pemangku kepentingan.

Djoko mengungkap, dari data Kementerian PUPR tercatat, kerugian negara mencapai Rp 43 triliun pertahun  untuk perbaikan jalan nasional akibat dilewati truk-truk ODOL Semuanya itu bermuara pada turun atau rendahnya tingkat keselamatan lalu lintas di jalan. 

"Padahal kalau tahu, kendaraan ODOL dari sisi pengusaha angkutan bisa jadi menguntungkan dalam jangka pendek, karena dapat mengangkut lebih banyak dengan frekuensi yang lebih sedikit. Namun risiko bagi publik cukup besar, dari sisi risiko kecelakaan lalu lintas serta kerusakan jalan yang dilalui," tuturnya. 

Menurut Djoko, tindakan tegas dari pemerintah untuk penanganan ODOL akan bermanfaat bagi pengurangan berbagai risiko. Namun, asosiasi dan beberapa pemangku kepentingan mengaku belum siap beradaptasi.

Sementara itu, Direktur Prasarana Ditjen Hubdat Risal Wasa mengatakan, ada tiga hal kondisi terbaru terhadap ODOL adalah, hilangnya keadilan, seharusnya truk kecil bisa hidup, tetapi dihajar ODOL muatannya. Kedua adalah kendaraan barang. 

"Kita tidak bisa keluar lintas batas negara karena ODOL, dan ketiga adalah  proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Avaibility Payment (KPBU AP), seperti pembangunan jalan oleh Kementerian PUPR, seperti di Sumatera Selatan dan Papua, menyaratkan kendaraan yang melintas di jalan raya tidak boleh ODOL," ujar Risal Warsa dalam kesempatan terpisah. 

Jika mengikuti perkembangan kebijakan bebas ODOL sejak diluncurkan tahun 2017 hingga tahun 2020, upaya pemerintah setidaknya sudah melakukan empat hal, yaitu penguatan regulasi,  sosialisasi, koordinasi dan kesepakatan, pelaksanaan program pendukung, dan penindakan serta penegakan hukum.

Dari beberapa kesepakatan yang sudah dilakukan ada hal yang dianggap berhasil, seperti PT Astra Honda Motor memberlakukan pengangkutan sepeda motor tidak over dimension over loading. PT Pelindo II juga melarang truk over dimension over loading untuk memasuki wilayah pelabuhan.

Selama kurun waktu tahun 2019, data Korlantas Polri mencatat terjadi 1.376.956 pelanggaran lalu lintas. Sebesar 136.470 kendaraan (10 persen) melakukan pelanggaran kelebihan kapasitas beban dan kapasitas dimensi. Dalam sehari rata-rata 378 angkutan barang melanggar ODOL. 

Pelanggaran ODOL menduduki peringkat ke empat dari 11 jenis pelanggaran lalu lintas versi Korlantas Polri. Peringkat pertama, pelanggaran surat menyurat 388.841 (28 persen), kedua pelanggaran marka 356.152 (26 persen), dan ketiga pelanggaran penggunaan sabuk keselamatan 224.600 (16 persen). 

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X