Ada Kode Etik, Fintech Tidak Bisa Asal Sedot Data dan Tagih Utang 

- Rabu, 25 September 2019 | 08:58 WIB
Indonesia Fintech Summit & Expo 2019, JCC, Jakarta, Selasa (24/9). (IFSE2019)
Indonesia Fintech Summit & Expo 2019, JCC, Jakarta, Selasa (24/9). (IFSE2019)

Keluhan diutarakan seorang peserta saat pembahasan kode etik perusahaan layanan keuangan digital atau Fintech di acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019, JCC, Jakarta, Selasa (24/9).

Dalam sesi yang dihadiri para ketua asosiasi, peserta mengeluhkan cara asal sedot nomor kontak konsumen dan melancarkan tagihan pada nomor yang buka keluarga atau kerabat konsumen tanpa mereka pahami dan kekosongan hukum perlindungan data pribadi. 

Salah satu yang jadi sorotan adalah fintech dengan jenis usaha peer to peer lending. OJK menilai risiko yang tinggi dimiliki perusahaan pemberi pinjaman ini. Alasannya, pemberi pinjaman atau perusahaan fintech tidak mengenal si peminjam. Mereka hanya berbasis kepercayaan karena semua berbasis internet.

Saat ini, sudah tercatat 48 perusahaan fintech yang masuk ke dalam 15 kluster inovasi keuangan digital, 127 perusahaan fintech peer to peer lending per Agustus 2019 dan satu perusahaan equity crowd funding berizin.

Menjawab keluhan konsumen tersebut, tiga asosiasi perusahaan financial technology (fintech) yakni Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sepakat untuk melakukan harmonisasi kode etik bersama (joint Code of Conduct (CoC).

Harmonisasi ini, diyakini para pengusaha Fintech bisa meningkatkan kepercayaan pada konsumen. Selain itu, ada perlindungan yang diberikan pada konsumen. Dimana, perusahaan Fintech punya batasan untuk meminta data konsumen dengan berfokus pada perlindungan data, serta transparansi informasi. 

"Tiga serangkai dalam industri fintech memiliki kode etik atau code of conduct yang sudah disusun dan diterapkan untuk diimplementasikan kepada para anggota kami. Intinya adalah melakukan market conduct yang baik di dalam industri fintech," ujar Managing Director AFTECH Mercy Simorangkir.

Kode etik bersama ini, sebagai itikad baik asosiasi untuk melakukan hal yang terbaik di pasar Fintech. Kode etik dari masing-masing asosiasi ini bisa disatukan dan lebih menguatkan satu sama lain. 

"Dengan adanya kode etik bersama ini harusnya mendorong kepercayaan masyarakat bahwa kita mengerti inovasi itu sangat cepat sekali," ujar Ketua Umum AFSI Ronald Yusuf Wijaya.

Ketua Umum AFPI yang sekaligus CEO Investree Adrian Gunadi memastikan bahwa tidak ada kode etik yang tumpang tindih. Kode etik akan membuat perusahaan Fintech harus taat kode etik.

"Kalau ada platform yang terbukti mengakses data yang lebih daripada diperbolehkan, berarti mungkin teman, saudara atau relasi itu bertransaksi dengan fintech ilegal,” kata Adrian di Jakarta, Selasa (24/9).

Pemberian sanksi oleh asosiasi berkategori ringan, sedang dan berat, dengan teguran tertulis, publikasi nama anggota yang melakukan pelanggaran ke OJK dan masyarakat, kemudian pemberhentian sementara keanggotaan asosiasi serta pemberhentian tetap dari anggota asosiasi. Untuk sanksi pencabutan izin hal itu diberikan oleh regulator. 

Sanksi yang diterapkan asosiasi misalnya, adalah berupa penutupan sementara layanan aplikasi dan situs platformnya selama 30 hari. Hal itu sudah dilakukan asosiasi pada salah satu anggota.

"Ini adalah bentuk upaya yang dilakukan asosiasi dalam melakukan kode etik pengawasan, dengan begitu asosiasi punya kewenangan dan pelaksanaannya. Itu yang menjadi hal yang kami lakukan," katanya. 

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X