Pada Rabu (14/8), ribuan perempuan, termasuk perempuan pribumi Brasil, baik yang muda maupun yang sudah berumur, beramai-ramai turun ke jalanan.
Ribuan perempuan itu menggelar aksi demonstrasi besar-besaran selama dua hari sejak Selasa (13/8), tepatnya di Ibu Kota Brasilia. Aksi itu merupakan wujud protes mereka terhadap kebijakan yang diterapkan Presiden Bolsonaro.
Di antaranya, pemotongan dana pendidikan dalam beberapa bulan terakhir, kebijakan pemerintah yang akan membuka wilayah hutan hujan Amazon untuk penambangan, serta kebijakan meningkatkan penggunaan pestisida dan pembunuh gulma.
Seorang guru berusia 43 tahun dari kota selatan Curitiba, Juliana Joucoski, mengaku belakangan ini masyarakat mengalami masa-masa sulit di mana pemerintah terus-menerus menyerang mereka dengan kebijakan tak masuk akal. "Kami kehilangan hak yang dimenangkan dengan susah payah," kata Juliana.
Demonstrasi itu pun mereka beri nama 'March of the Margaridas', sesuai dengan pemimpin serikat buruh Brasil bernama Margarida Maria Alves yang dibunuh pada 1983 selama kediktatoran militer Brasil.
Sebelumnya, demonstrasi besar-besaran seperti ini pernah terjadi, bahkan diadakan setiap empat tahun sekali. Menurut masyarakat setempat, protes ini digelar khusus untuk mengecam kebijakan dari orang nomor satu di Brasil.
Ribuan perempuan pribumi yang terlibat aksi demonstrasi ini merupakan bagian dari beberapa suku lokal di Brasil. Suku Kaiabi Kawaiwete merupakan penduduk dominan di Brasil. Mereka hidup semi-nomadik dengan berburu, memancing, meramu, dan agribudaya.
Suku Tabajara diketahui dulunya ada sekitar 2.000 suku pernah mendiami Brasil. Namun pada abad ke-16 menghilang akibat penaklukan bangsa Eropa dan berasimilasi dalam populasi Brasil.
Suku Pareci memiliki ciri khas pada gaya pakaiannya yang agak primitif. Suku Kisetje biasanya identik dengan penampilan penuh tato sebagai aksesoris di tubuhnya.
Suku Tapuia tampil memakai aksesoris topi dari bulu unggas selama mengikuti aksi protes. Dan terakhir adalah Suku Kamaiura.