Badan kesehatan PBB dan mitranya menemukan dalam sebuah studi baru bahwa hampir satu dari tiga wanita di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidup mereka.
Dikutip dari India Today, laporan dirilis pada Selasa dari Organisasi Kesehatan Dunia, berdasarkan apa yang disebut badan tersebut sebagai studi terbesar yang pernah ada tentang prevalensi kekerasan terhadap perempuan, juga menemukan kekerasan semacam itu dimulai lebih awal.
????data shows that violence against women remains devastatingly pervasive & starts alarmingly young. Across their lifetime, 1? in 3? ???????????? are subjected to physical or sexual violence by an intimate partner or sexual violence from a non-partner.
— World Health Organization (WHO) (@WHO) March 9, 2021
???? https://t.co/mvLkJyslpB pic.twitter.com/9XCmqC6Xi5
Dikatakan seperempat wanita muda yang telah menjalin hubungan ditemukan telah mengalami kekerasan oleh pasangan intimnya pada saat mereka mencapai usia pertengahan 20-an.
Penelitian telah menunjukkan peningkatan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan karena pemerintah di banyak tempat memerintahkan penguncian dan pembatasan lain yang menyebabkan banyak orang tetap berada di dalam rumah.
“Kekerasan terhadap perempuan mewabah di setiap negara dan budaya, menyebabkan kerugian bagi jutaan perempuan dan keluarga mereka, dan telah diperburuk oleh pandemi Covid-19,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Dia mendesak pemerintah, individu, dan komunitas untuk membantu mengatasi masalah tersebut.
Penelitian tersebut yang pertama sejak 2013, mengamati kekerasan oleh pasangan intim perempuan dan kekerasan seksual oleh non-pasangan dan menemukan sekitar 736 juta perempuan dan anak perempuan di atas 15 tahun menjadi sasaran setidaknya salah satu dari bentuk kekerasan ini.
“Secara global, ketika kita melihat efek gabungan dari kekerasan pasangan intim dan kekerasan seksual non-pasangan, kami memiliki satu dari tiga wanita yang pernah mengalami setidaknya satu dari bentuk kekerasan ini,” kata Dr. Claudia Garcia-Moreno dari Unit penelitian dan kesehatan seksual dan reproduksi WHO.