Catatan IPW di Hari Bhayangkara ke 74 Tahun, Polri Dinilai Tak Ideal dan Terlampau Gemuk

- Selasa, 30 Juni 2020 | 16:39 WIB
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis (kedua kanan) tiba untuk mengikuti di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta, Senin (29/6/2020). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis (kedua kanan) tiba untuk mengikuti di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta, Senin (29/6/2020). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Besok diperingati sebagai Hari Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli 2020. Polri genap berusia 74 tahun, namun Indonesia Police Watch (IPW) melihat organisasi Polri makin gemuk.

Ada lima fakta yang membuat IPW melihat perkembangan Polri dianggap tidak ideal sebagai institusi Polri.

Pertama, dibandingkan dengan era Orde Baru di era reformasi saat ini anggaran Polri naik 2000 persen lebih. Tapi Polri selalu merasa kekurangan anggaran.

Namun, seberapa besar anggaran ideal yang dibutuhkan, tidak satu pun elite Polri yang bisa menjelaskan. Polri tidak tahu persis berapa sesungguhnya anggaran idealnya. 

Kedua, organisasi Polri saat ini makin obesitas dan menjadi raksasa yang sulit bergerak, sehingga makin sulit melayani masyarakat.

"Jumlah jenderal, Kombes, dan AKBP makin membludak. Akibatnya, limpahan jenderal Polri mengalir kemana mana, termasuk ke wilayah sipil dan menjadi gangguan bagi karir pejabat ASN," ungkap Ketua Presidium IPW Neta S Pane melalui keterangan tertulisnya pada Indozone.id, Selasa (30/6/2020).

Ketiga, elit Polri makin doyan menambah jumlah jenderal, sehingga jenderal polisi ada dimana mana.

Di masa orde baru, di daerah sangat sulit menemukan jenderal polisi, kini di setiap daerah sedikitnya ada tiga atau empat jenderal polisi, mulai dari Kapolda, wakapolda, kepala BNN Daerah, dan Kabinda.

"Jika di era orba total jumlah jenderal polisi hanya 65 orang, saat ini jumlah jenderal polisi hampir 300 orang. Akibatnya, anggaran Polri banyak tersedot untuk membiayai para jenderal, yang sesungguhnya keberadaan jenderal polisi yang membludak itu tidak ada manfaatnya buat masyarakat," ujarnya.

Keempat, semua Polda dijadikan Tipe A. Strategi Polri dalam hal ini makin tidak jelas dan tidak promoter.

"Bayangkan, Polda Bengkulu disamakan dengan Polda Metro Jaya. Sama sama Tipe A. Artinya, tolok ukur Polri makin ngaco dalam menjalankan tugas profesionalnya. Akibatnya, tidak ada proses magang dan belajar yang signifikan bagi perwira Polri dalam menjadi seorang Kapolda," kata Neta.

Sehingga perwira yang tidak pernah menjadi wakapolda atau tidak pernah menjadi Kapolda di daerah kecil, tiba tiba bisa saja menjadi Kapolda di Jawa.

Menurutnya gengsi Kapolda Metro Jaya pun punah karena posisinya sama dengan Kapolda Bengkulu. Jadi jangan heran, jika nanti Kapolda Bengkulu tiba tiba bisa menjadi Wakapolri atau Kapolri karena tidak jelasnya sistem karir di Polri.

Kelima, sejak reformasi anggaran yang dikeluarkan Polri untuk membangun sistem Alkom Jarkomnya sudah ratusan triliun.

Halaman:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X