Omnibus Law Hapus Upah Minimum dan Pesangon Buruh?

- Senin, 30 Desember 2019 | 16:07 WIB
Massa yang tergabung dalam Aliansi Sarikat Pekerja Buruh Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (2/11). (Antara/Novrian Arbi)
Massa yang tergabung dalam Aliansi Sarikat Pekerja Buruh Jawa Barat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (2/11). (Antara/Novrian Arbi)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai, omnibus law bukan cara terbaik meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, omnibus law disebut hanya akan menghancurkan kesejahteraan para pekerja. 

Demikian disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal di Jakarta, Senin (30/12).

Merujuk pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, Said mengatakan ada beberapa hal mendasar yang menjadi catatan, di antaranya penghilangan upah minimun dan pesangon. 

Menurut Said, dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini terlihat dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. 

Pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis di bawah minimum. Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Upahnya pun tidak lagi dibayar karena pada dianggap tidak bekerja.

"Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam," kata Said. 

Namun demikian, menurut Said langkah itu hanya akal-akalan. Sebab dalam praktiknya, akan sangat mudah bagi pengusaha menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam. 

"Penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum. Upah minimum adalah upah minimum, berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam," tegasnya. 

-
Demo buruh (Antara/Novrian Arbi).

Merujuk pada Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika terjadi sama saja dengan kejahatan dan pengusahanya bisa dipidana.

"Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Itu karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari," tegasnya.

Said pun menyoroti pernyataan Menko Perekonomian yang menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah. 

Terkait hal ini, Said mengatakan bahwa di dalam UU No 13  Tahun 2003 sudah diatur mengenai pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 16 bulan upah.

Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon dan atau penghargaan masa kerja.

"Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 36 bulan upah lebih," pungkasnya.

Halaman:

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

X