Simalakama Pertamina, Bakal Merugi Jika Harga BBM Tak Naik

- Rabu, 8 Januari 2020 | 11:57 WIB
Stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina (Dok PT Pertamina)
Stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Pertamina (Dok PT Pertamina)

Eskalasi politik di Timur Tengah memanas paska aksi saling balas serangan antara Iran-AS yang didahului dengan pembunuhan pemimpin militer Iran oleh AS. 

Hal yang menjadi sorotan dari konflik tersebut adalah, harga minyak dunia yang kemudian melonjak cukup signifikan di seluruh belahan dunia. 

Di satu sisi, perusahaan penyedia migas Indonesia, PT Pertamina (Persero) beberapa hari kemarin justru baru saja menurunkan harga penjualan Bahan Bakar Khusus (BBK) atau BBM Non Subsidi. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan oleh sejumlah pihak, bahwa konflik Iran-AS bakal merembet ke kinerja Pertamina. 

Menyikapi hal itu, Pengamat Energi Mamit Setiawan berpendapat, pemerintah sebagai regulator dalam penetapan harga dan formula jual BBM di Indonesia, sebaiknya tidak membebani Pertamina dengan mempertahankan harga BBM di level murah, pada saat harga minyak dunia melambung. 

"Saya kira ini akan jadi buah simalakama terutama untuk Pertamina. Jika tidak menaikan maka mereka akan mengalami potensial loss karena menanggung selisih biaya produksi, khususnya pada BBM bersubsidi. Meskipun nanti akan diganti pemerintah melalui dana konpensasi, tapi dana tersebut belum tahu kapan akan dibayarkan," ujar Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan kepada Indozone, Rabu (8/1/2020). 

Kemudian di sisi lain, perang Iran-AS juga sebetulnya memberikan dampak positif juga, khususnya karena Indonesian Crude Price (ICP) juga akan terdongkrak naik. Indonesia, kata Mamit, harus memaksimalkan potensi tersebut, meski sekecil apapun. 

"Langkah yang perlu saya kira adalah kita coba berhemat pemakaian BBM serta pembangunan kilang harus segera di lakukan agar bisa mengurangi impor BBM produk. Selain itu program diversifikasi energi juga harus segera di jalankan," tuturnya. 

"Kenaikan ini saya perkirakan bisa cukup tinggi, mengingat kedua negara ini pengahasil minyak cukup besar. Pasar pasti khawatir terkait dengan stock minyak dunia bisa mencapai US$70-75 perbarel. Bulan depan saya kira akan terasa, mengingat biasanya per 2 minggu dilakukan evaluasi harga BBK. ICP juga pasti akan terkoreksi cukup besar," imbuhnya.

Artikel Menarik Lainnya

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

Gempa 5,3 Magnitudo Guncang Gorontalo Dini Hari

Kamis, 25 April 2024 | 14:57 WIB
X